#cerpen_remaja
PERMEN KARET
DN Sarjana
Mendengar nama permen karet, teringat sebuah film tempo doeloe tahun 80an. Surya hanya sempat membaca novel Lupus. Lupus yang doyan kemana-mana ngemil permen karet. Konon dimasanya permen karet menjadi biang kerok masalah di sekolah. Sampai-sampai permen karet dilarang dijual dan dinikmati di sekolah.
Kali ini justru teman kelasku terkena kasus gara-gara permen karet. "Ayo ngaku, siapa yang menaruh permen karet di kursi guru kemarin? Siapaaa?" Tanya Pak Gogok dengan nada suara agak keras.
Tak satupun siswa berani memandang ke depan. Suasana kelas terasa sangat sepi. Tak satupun siswa berani menoleh. Apalagi berisik. Seisi kelas terlihat tegang. Kalau saja poto-poto pahlawan di dinding bisa bicara, mereka pasti tertawa melihat kelakuan kami.
"Tidak ada yang ngaku? Ingat jangan sampai bapak melakukan tindakan keras. Bapak tahu, kalian tidak boleh dikenakan hukuman pisik. Tapi menempelkan permen karet yang melekat dicelana bapak, itu lebih kejam dari kekerasan."
Bapak Gogok kelihatan mulai tak sabar. Ia beberapa kali bolak balik di gang meja siswa. Mungkin beliau memperhatikan wajah-wajah kami. Konon kalau orang bersalah dan tertekan, wajah akan kelihatan kerut karena rasa takut. Belum lagi ciri utama keluar keringat.
"Begini saja. Hari ini bapak tidak ngajar. Bapak kasi waktu 12 jam, kalian ada yang mau berkata jujur. Cari bapak di ruang guru."
Sambil membenturkan spidol white board. Cetaaak...suara sedikit keras. Kami semua terkejut. Tanpa basa-basi Bapak Gogok meninggalkan kelas.
Setelah Bapak Gogok tidak terlihat, suasana kelas mulai terdengar ramai. Kami terlepas dari rasa takut. Kami bisa bernafas lega.
"Ayo teman-teman. Siapa yang melakukan, coba berterus terang. Daripada kita kena hukuman. Aku siap mengantar menghadap Bapak Gogok." Kata Rani sekretaris kelas merayu temannya.