"Kenapa Indra?" Inka memegang tangan Indra dengan reflek. Ia memang seperti itu dengan teman. Inka perhatian dan sangat energik. Makanya teman-teman menunjuknya sebagai korti (kordinator tingkat)
Sementara Ririn kelihatan salah tingkah. Dia tidak biasa melihat pemandangan seperti itu. Ririn mulai cemburu sama Indra. Ririn menjauh. Ia duduk dipelataran parkir. Indra bergegas mendekati Ririn. Inka, Binggo jadi bingung. Lalu Binggo berkata.
"Gadis pingitan, emang gitu. Dikit-dikit cemburu. Rasain." Gerutu Binggo yang rada-rada cewek.
"Nggo, jangan ngaco. Perempuan emang gitu. Coba nanti kamu punya pacar."
"Rin, maafkan aku. Temenku emang seperti itu. Itu temen cowok dan cewek yang amat dekat denganku". Indra meyakinkan Ririn.
"Ooo, pantes temen dekat. Lebih dekat dari aku."
"Rin, percayalah. Aku hanya milikmu."
"Indra, anter aku pulang. Dari awal perasaanku tidak nyaman. Kamu tahu kan? Aku bukan tipe perempuan seperti dia." Air mata Ririn mulai meleleh. Suaranya agak kedalam  menahan kesal.
" Ririn, coba redam emosimu. Ririn, bayangkan setahun aku bersamamu. Apakah pernah aku mendustaimu?"
"Emang..., Emang tidak pernah aku rasakan. Tapi sekarang kan aku lihat? Apa kamu bisa berbohong lagi Indra? Ririn berdiri memukul-mukul dada Indra.
Dalam suasana kekalutan seperti itu, Inka dan Binggo hadir sebagai dewa penyelamat. Mereka curiga kenapa Indra tidak hadir sudah dipanggil untuk membawakan acara. Mereka bergegas mencari keparkiran. Benar saja mereka dilihat sedang bertengkar.
"Broo, kamu beberapa kali dipanggil. Tidak nongol. Eee...tahu-tahunya dengan bidadari."
Uuuh, namanya juga Binggo. Kayak burung beo. Pikir Indra sambil nahan mangkelnya.
"Ayo cepetan. Ndak kan ada yang ngambil gacoanmu. Atau gantian. Aku yang nungguin?" Binggo ngelantur aja tuh. Padahal Inka sudah ngasi kode dengan menempelkan jari di bibir. "Dasar beo, ketus Inka dalam hati.