Belum sempat bincang-bincang lagi, Jro Bendesa sudah memberi aba-aba agar perjalanan dilanjutkan.
"Nanti dilanjutin ya Rat". Bancu memegang tangan  Ratih, lalu menjauh.
"Ya, Bli".
Perasaan Ratih menjadi tidak karuan. Genggaman tangan Bancu masih terasa. Adakah cinta itu bersambut. Pikirnya. Diapun kembali berdiri dan mengikuti jalannya ogoh-ogoh.
Dalam lelah muda-mudi, ternyata suara anak-anak yang mempermainkan obor riang terdengar.
Itulah kegembiraan dan keindahan yang sulit dicari. Tiga tahun ditunggu karena bencana, baru kali ini bisa dilewati. Tidak terasa barisan ogoh-ogoh semua sudah ada di kuburan. Sebentar lagi akan di pralina. Ribuan peserta memandangi di balik gelap malam. Pastilah anak-anak tidak ingin kehilangan ogoh-ogoh karena dibakar. Apalagi anak muda. Mereka merasa mengerjakan ber bulan-bulan.
Lidah api meliak-liuk membumbung. Kertas bahan ogoh-ogoh beterbangan. Sesekali suara dentuman bambu yang terbakar terdengar. Tepuk tangan dan teriakan penonton gemuruh. Jeritan, "mari tahun depan kita ulangi", menggema. Mereka ingin di pengerupuk nanti terulang lagi. Suasana semakin sepi. Hanya tertinggal beberapa orang saja. Ratih dan beberapa teman, bapak kelian dan pecalang, masih menunggu. Mereka menjaga-jaga pertemuan Dogler dan Bancu seperti dalam WhatsApp.
Kelihatan dua pemuda sudah berdiri di tempat yang gelap. Entah apa dibicarakan. Tiba-tiba Dogler
memegang baju Bancu. Pecalang diikuti Bapak Kelian pun berlari dan memisahkan keduanya, sambil berkata.
"Ada apa ini. Kok kalian bertengkar. Malulah sama adik- adik yang kalian pimpin". Keduanya menunduk. Tidak sepatah katapun keluar. Ratih berusaha mendekat.
"Begini Bapak kelian dan Bapak pecalang. Aku dikira berpacaran sama salah satu dari mereka. Padahal aku tidak ada apa-apanya buat mereka. Aku berteman biasa. Kan, aku baru pulang kampung. Tidaklah mungkin begitu dalam mengenali mereka". Ratih berusaha menenangkan suasana.