Itu sms yg dia kirim. Aku bergegas berjalan ke arah itu. Dari jauh kulihat dia sendiri. Rambutnya tergerai hempasan angin.
"Hai, sudah tadi?.
"Nggak mas". Jawabnya singkat. Tangannya lincah menerbangkan pasir putih. Aku duduk
disampingnya, sambil menjulurkan botol minuman. Tangan halus putih, tiada ragu mengambil. Seiring deburan ombak, perbincangan kami tiada terputus. Hingga batas kata terakhir.
"Sinta, aku mencintaimu". Berbarengan dengan jari saling terpaut kata itu terucap. Santi menatap mataku. Ada buliran air mata yang tampak tersimpan. Tiada kusangka Sinta merebahkan kepala dibahuku. Desiran di dada menjalar, melebihi desir ombak di pantai. Hari terus berlalu. Bunga-bunga cinta kami pupuk, hingga pernikahan kami lalui dengan bahagia.
"Pa, teras ini nanti isi tirai ya. Biar aku bisa duduk di
pagi hari sambil berjemur sebentar dengan si kecil".
 "Ya, ma. Kita tunggu gajian bulan depan. Kita
isi tanaman gantung, biar suasana terasa santai". Istriku mengangguk, sambil menghentikan tangis si kecil. Rupanya dia merasa tidak enak basah, karena baru habis pipis.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tidak terasa dua tahun sudah usia putriku. Istriku mulai merengek minta bekerja lagi. Dia merasa jenuh tinggal di rumah. Masuk akal juga, dia tidak sempat menikmati suasana di luar rumah. Aku tidak tega juga mengurung istriku di rumah. Syukur ada bibi dari keluarga ibu tidak punya pekerjaan, sehingga dia kujadikan pengasuh di rumah.Seiring berjalannya waktu. Cerita indah berumah tangga kami lalui. Tawa dan tangis si kecil mewarnai rumah ini. Namun suatu saat ada hal yang berubah pada istriku. Dia mulai sering mangkel di rumah. Apalagi lepas kerja. Aku memaklumi. Dia pasti lelah setelah kerja. Punggungnya membelakangi tidurku sambil menyusui. Itu dia lakukan sering kali. Sebagai lelaki, rasa cemburuku tiada bisa disembunyikan.
Hingga suatu saat sambil duduk di teras.