Pantai ini menjadi pilihan utama bagi Junet untuk melepas penat dan lelah, setelah setiap hari ia mengikuti perkuliahan. Pastinya Sabtu atau minggu sore Junet menikmati suasana pelabuhan. Pusat pertokoan dan pelabuhan tua sangat terasa. Jembatan kokoh tampak masih gagah dengan model pinggiran melengkung. Di sebelah selatan, terlihat dangkalan pasir meliuk. Ada beberapa pepohonan menjulang seakan menahan pinggiran sungai biar tidak longsor. Â Muara ini sangat mungkin dimasa lalu digunakan untuk menambatkan perahu atau kapal kecil. Berjalan keselatan di sebelah kiri, bangunan Kelenteng berwarna merah terkesan tua dan klasik. Lampion berjejer menambah indah suasana. Dari kejauhan bangunan gedung penampungan barang kokoh berdiri. Hanya ketika mata memandang keselatan, jembatan untuk menambatkankan prahu sudah kelihatan rapuh. Beberapa tiang nya terlihat kropos.
Deburan ombak nan landai seolah saling menyapa. Kerikil kecil bercampur pasir menambah indah suasana. Sesekali desiran angina laut dating agak kencang sehingga terasa dingin. Junet membasuh kakinya pada riak air laut. Ia memandang ombak biru nan luas. Tampak bebukitan terlihat jauh menjulang. Sore ini cuaca cukup bersahabat. Junet dengan sabar menanti pujaan hatinya. Digoreskannya sebait puisi pada lembar kertas yang dia bawa. Cukup lama dia menunggu. Tapi Laras tak kunjung datang. Perasaannya mulai tidak enak. Ada apa dengan Laras? Biasanya dia tidak pernah seperti ini. "Adakah?...Ah tidak baik berburuk sangka." Pikir Junet dalam hati. Ia pandangi burung laut lincah kepakan sayap bermain.
Apakah kejadian kecil sepuluh hari lalu menjadi sebab? Atau drama itu sudah direncanakan oleh Laras? Ah buat apa menduga. Bukankan hidup harus dijalani? Senja menyelimuti langit yang tampak berwarna jingga. Siluet riak putih perak air laut semakin jelas. Matahari merendah menuju peraduan di kaki langit. Suasana pelabuhan mulai sepi dan sunyi. "Baiknya aku bergegas pulang. Buat apa dalam kesendirian." Pikir Junet. Diapun melangkahkan kaki. Disusurinya kota tua Buleleng. Lampu neon di pinggiran jalan tampak terang. Gerombolan laron sibuk beterbangan. Junet terus berjalan menuju jalan Cempaka.
Walau langkah kaki terasa berat, Junet sampai juga ditempat kos. Dia hempaskan tubuh di atas kasur. Rasa kesel masih tergores di hati Junet. Radio tua di meja belajar dia bunyikan. Alunan lagu terdengar, tetapi tidak juga mampu menepis pertanyaan mengapa...? dari Pelabuhan Buleleng tadi. Junet bergegas ke kamar mandi. Dia mengguyur seluruh tubuhnya, tuk mengusir penat yang mengurung. Tidak seperti biasa, sehabis makan malam dia membuka buku kuliah. Hari ini dia memanjakan tubuhnya di atas kasur. Dia ingin mengusir kejadian sore tadi dari mimpi malam ini. Benar saja Junet tertidur pulas.
Matahari sudah agak tinggi. Junet terlambat bangun. Ia bergegas mandi. Pagi ini dia ada kuliah. Setelah semua siap, Junet menyusuri jalan Mawar menuju kampus bawah. Sampai di kampus, seperti biasa Junet duduk di bawah pohon ancak dekat kantin. Dilihatnya ada beberapa teman mahasiswa bermain karambol sambil menikmati kopi dan hisapan rokok.
Tidak disangka  Laras menuju ruangan pojok timur paling utara. Bangunan kampus memang rada unik. Gedung penuh jendela. Disetiap pojok ada ruangan yang bentuknya memojok juga. Terkenal kemudian disebut ruangan pojok. Junet mengikuti langkah Laras. Dari jarak yang cukup dekat, dipandanginya tubuh Laras dari belakang. 'Gadis yang cukup ideal." Pikir Junet.
Sesampai di dekat ruangan suasana masih sepi. "Kesempatan aku bicara dengan Laras." Pikir Junet.
"Pagi Laras. Apa kabar?"
Laras agak terkejut. Sesaat dia bengong. Ia tidak menyangka Junet sudah berdiri di sampingnya. Lalu Laras menyahut. "Pagi juga Jun. Kok kamu disini?"
"Memang tidak boleh ya!" Junet tak habis pikir. Tumben hari ini Laras mengeluarkan kata-kata seperti itu. Tak juga nampak senyumnya. Sebelumnya Laras menanti pertemuan seperti ini. Maklum, Junet dan Laras lain jurusan.
"Bukan itu maksudku Jun. Kamu kan kuliahnya di ruangan barat."
"Ya bener. Tapi masih ada waktu untuk kita berbincang-bincang."
Dalam suasana santai, Junet terus menyampaikan kekesalannya mengapa Laras tidak datang ke pelabuhan Buleleng kemarin. Padahal tiga hari yang lalu, dia serius mau bertemu. Laras menunduk, tanpa sepatah katapun ia keluarkan.
"Laras, jangan membisu begitu. Beri dong alasan, biar aku tahu maksudmu."
Laras memandang Junet dengan tajam. Dia menyembunyikan luka yang ia rasakan. Lalu berucap.
"Jun, ditempat ini tidak bisa kujelaskan. Terlalu singkat waktu untuk kita bicarakan. Baiknya kau kuliah dulu. Teman-temanku juga sudah banyak datang."
"Lalu kapan?"
"Nanti sore kita bertemu lagi di pelabuhan Buleleng. Semua akan saya jelaskan." Kata Laras terus masuk ruangan karena dosen sudah datang dari pintu barat.
Junet meninggalkan tempat itu penuh tanda tanya. Tapi dia harus melupakan karena sebentar lagi harus mengikuti mata kuliah. Mata kuliah dengan 6 SKS ini sangat ditakuti oleh mahasiswa termasuk kakak tingkat. Perkulihaan hanya sampai pukul 10. Junet dengan sabar menanti datangnya sore. Dalam pikirannya masih bergelayut, mengapa Laras terasa menjahuinya akhir-akhir ini. Apakah dia telah mendapat kekasih lainnya?
Tidak terasa Junet sudah tiba di rumah kosnya. Dilihatnya jam di dinding. Waktu masih menunjukkan pukul 11.30. Junet harus sabar menanti sore. Dia baringkan tubuhnya di atas Kasur. Matanya susah terpejam karena masih ada masalah yang mengganjal pikirannya. Waktu sudah menjelang sore. Junet bersiap pergi ke pelabuhan Buleleng. Junet berjalan menunggu bemo menuju pelabuhan Buleleng. Tidak lama menunggu bemo dating. Perjalanan kepelabuhan Buleleng tidaklah lama. Tidak terasa dia sudah sampai di pelabuhan. Dia tidak ingin Laras menunggu duluan. Junet duduk tempat menambatkan prahu. Ia menatap riak air laut, sambil membayangkan keadaan nanti setelah Laras datang. Tidak disangka Laras sudah berada di sampingnya.
"Sudah tadi Jun?" Laras memulai percakapan."
"Baru saja."
"Laras, aku ingin kejujuranmu. Aku tidak ingin situasi ini berlarut. Bukankah jalinan cinta kita sudah lama? Mengapa kau begitu cepat melupakannya?"
Laras berdiri. Dia tetap terdiam. Pandangannya jauh. Air matanya menetes perlahan. Bibirnya sedikit bergetar. Dalam hatinya dia berkata. "Laki-laki memang gampang melupakan. Dustanya begitu mudah." Lalu Laras menyodorkan selembar kertas berwarna biru muda kepada Junet.
"Ni, silahkan baca."
Junet terkejut. Dia lupa ingat dengan kertas surat itu. "Dimana Laras dapatkan? Bagaimana caranya aku mengelak? Ternyata aku kena.", Pikir Junet.
"Laras, di mana kau temukan surat itu?"
"Buat apa kau tanyakan itu. Kau bertanya saja dengan diri sendiri." Jawab Laras.
Junet lanjut membaca surat itu. Oh, surat sudah dua tahun lalu. Seingatku surat itu tidak terkirim. Tapi dimana Laras dapatkan?
"Beri aku kesempatan berbicara Laras. Akan ku katakan yang sejujurnya." Junet menghadapi Laras sambil memegang tangannya.
"Lelaki, selalu bicara tentang kejujuran. Tapi itu hanya menutupi ketidakjujuran." Laras menyeka air matanya, sambil menjauh.
Junet mendekati laras. "Ras, sejujurnya aku katakan saat itu aku tertarik denganmu. Tapi aku ragu. Kau perempuan cantik, pintar dan luwes bergaul. Sedang aku? Biasa-biasa saja. Tidak ada yang lebih meyakinkan dirimu tertarik padaku. Aku merasa ikut-ikutan aja dikegiatan kampus."
"O, inginmu mendua?" Laras masih tak mau memandang Junet.
"Laras, aku belum selesai. Dengan surat yang ku tulis untukmu, ternyata kau menerima cintaku. Akhirnya surat yang ku tulis untuk Ratna batal ku kirim. Tak sebersitpun aku ingin mendua."
"Junet, aku menerima cintamu bukan semata karena penampilanmu, kelincahanmu. Tapi aku melihat dirimu apa adanya. Kau jujur. Kau tahu arti persahabatan. Kau juga kutu buku. Bukankah kau aktif di HMJ?"
"Trus, dengan penjelasan tadi, Laras masih ragu dengan cintaku?"
Laras memandangi Junet. Dia sesungguhnya tidak mungkin memutus hubungan cinta dengan Junet. Dia pria yang baik hati. Dia kemudian mendekati Junet dan memeluknya.
"Perempuan itu sensitif Junet. Dia tidak mudah meyakinkan dirinya sendiri. Apalagi meyakini perkataan orang lain."
"Laras, aku juga laki-laki yang tidak mau seenaknya mempermainkan perempuan. Apalagi perempuan sepertimu. Tapi kalau Laras tidak mempercayaiku lagi, aku serahkan keputusannya kepadamu. Buat apa aku mencintai Laras, sementara dirimu sudah tidak mencintaimu lagi."
Laras termangu mendengar ucapan Junet. Junet memang laki-laki yang setia dan jujur. Ia lalu mendekati Junet.
"Jun, maafkan aku. Aku terbawa emosi, ketika surat itu kutemukan di buku catatanmu. Aku mencintaimu. Aku percaya akan kejujuranmu. Maafkan aku Jun."
Junet balik memeluk Laras. Satu kecupan jatuh di kening Laras. Deburan ombak menjadi saksi kesetiaan mereka.
Lalu Junet berkata. " Laras, ternyata luka yang kau gores di pelabuhan Buleleng, hanyalah berkah yang menyembuhkan cinta kita dari cemburu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H