"Baru saja."
"Laras, aku ingin kejujuranmu. Aku tidak ingin situasi ini berlarut. Bukankah jalinan cinta kita sudah lama? Mengapa kau begitu cepat melupakannya?"
Laras berdiri. Dia tetap terdiam. Pandangannya jauh. Air matanya menetes perlahan. Bibirnya sedikit bergetar. Dalam hatinya dia berkata. "Laki-laki memang gampang melupakan. Dustanya begitu mudah." Lalu Laras menyodorkan selembar kertas berwarna biru muda kepada Junet.
"Ni, silahkan baca."
Junet terkejut. Dia lupa ingat dengan kertas surat itu. "Dimana Laras dapatkan? Bagaimana caranya aku mengelak? Ternyata aku kena.", Pikir Junet.
"Laras, di mana kau temukan surat itu?"
"Buat apa kau tanyakan itu. Kau bertanya saja dengan diri sendiri." Jawab Laras.
Junet lanjut membaca surat itu. Oh, surat sudah dua tahun lalu. Seingatku surat itu tidak terkirim. Tapi dimana Laras dapatkan?
"Beri aku kesempatan berbicara Laras. Akan ku katakan yang sejujurnya." Junet menghadapi Laras sambil memegang tangannya.
"Lelaki, selalu bicara tentang kejujuran. Tapi itu hanya menutupi ketidakjujuran." Laras menyeka air matanya, sambil menjauh.
Junet mendekati laras. "Ras, sejujurnya aku katakan saat itu aku tertarik denganmu. Tapi aku ragu. Kau perempuan cantik, pintar dan luwes bergaul. Sedang aku? Biasa-biasa saja. Tidak ada yang lebih meyakinkan dirimu tertarik padaku. Aku merasa ikut-ikutan aja dikegiatan kampus."