Mohon tunggu...
Healthy

Ketidakcocokan yang Berbahaya

25 November 2017   22:58 Diperbarui: 26 November 2017   00:07 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darah adalah salah satu bagian paling penting dalam tubuh manusia, mengingat perannya dalam mengangkut oksigen dan nutrisi dalam tubuh kita. Darah terdiri dari 3 bagian yaitu plasma darah, sel darah, dan keping darah atau seringkali disebut trombosit. Sel darah sendiri terbagi menjadi dua tipe yaitu sel darah putih atau leukosit dan sel darah merah atau  sering disebut eritrosit.

Ketika seorang perempuan hamil, terdapat kemungkinan bahwa tipe darah yang dimiliki oleh janin tidak cocok dengan tipe darah yang dimiliki oleh perempuan hamil tersebut. Ketidakcocokan tipe darah ini menyebabkan sebuah kondisi atau penyakit yang disebut eritroblastosis fetalis, dimana leukosit dari sang ibu menyerang sel darah merah dari janin yang dianggap sebagai benda asing. Kondisi ini dapat dicegah dan diatasi. Semakin cepat kondisi ini terdeteksi, maka tindakan pencegahan yang tepat juga dapat diambil sehingga kelahiran sang janin dapat berjalan dengan lancar. Tetapi sebaliknya, bila kondisi ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat mengancam nyawa janin yang dikandung.

Ada dua kemungkinan penyebab eritroblastosis fetalis, yaitu ketidakcocokan golongan darah, serta ketidakcocokan rhesus antara ibu dan janin.

Terdapat 4 jenis golongan darah manusia yaitu A, B, O, dan AB. Pembeda dari 4 jenis golongan darah ini adalah ada tidaknya antigen pada membran sel darah merah. Golongan darah A adalah golongan darah yang memiliki antigen A pada membran sel darah merah, sedangkan golongan darah B memiliki antigen B, golongan darah O tidak memiliki antigen, dan golongan darah AB memiliki antigen A dan B.

Selain antigen A dan B, terdapat pula antigen sel darah yang disebut Rh-D yang menentukan jenis rhesus yang dimiliki oleh manusia. Terdapat dua jenis rhesus yaitu rhesus positif dan rhesus negatif. Rhesus positif artinya terdapat antigen Rh-D pada membran sel darah merah dan rhesus negatif artinya tidak terdapat antigen Rh-D pada membran sel darah merah.

Ketidakcocokan janin dan ibu yang diakibatkan karena ketidakcocokan golongan darah seringkali ditemui, namun reaksi pertahanan yang dilakukan oleh tubuh ibu tidak berdampak besar pada janin.

Ketidakcocokan janin dan ibu karena ketidaksesuaian rhesus berdampak cukup besar dan dapat membahayakan keadaan janin. Eritroblastosis fetalis akibat ketidaksesuaian rhesus terjadi ketika ibu memiliki rhesus negatif dan janin memiliki rhesus positif.

Lalu, apakah bila ibu memiliki rhesus positif dan janin memiliki rhesus negatif tidak terjadi eritroblastosis fetalis? Jawabannya adalah ya. Apabila ibu memiliki rhesus positif dan janin memiliki rhesus negatif, maka eritroblastosis fetalis tidak akan terjadi karena antibodi yang dimiliki oleh ibu tidak menyerang sel darah merah yang dimiliki oleh janin. Tetapi, tidak terjadi eritroblastosis fetalis bukan berarti tidak memberi efek pada ibu. Apabila kita lihat secara lebih mendalam, bila janin memiliki rhesus negatif artinya janin akan menganggap RhD yang dimiliki ibu sebagai antigen. Hal ini akan berakibat pada terbentuknya antibodi (anti Rh-D) pada tubuh janin untuk menyerang eritrosit ibu yang memiliki Rh-D pada membrannya. Tetapi, hal ini tidak berbahaya karena pembentukan antibodi pada tubuh janin memerlukan waktu yang cukup lama sehingga hanya ada sedikit antibodi yang terbentuk untuk melawan eritrosit ibu.

Tetapi, sebaliknya apabila ibu yang memiliki rhesus negatif dan janin memiliki rhesus positif maka hal ini akan membahayakan janin serta ibu. Ketika darah dari janin yang mengandung antigen Rh-D masuk ke dalam sistem peredaran darah ibu. Antigen Rh-D pada janin akan memicu terbentuknya antibodi oleh tubuh ibu. Antibodi yang telah dibentuk ini akan masuk ke dalam sistem peredaran darah janin dan  menyerang sel darah merah janin.

Meskipun demikian, sangat jarang dijumpai terjadinya kondisi ini pada kehamilan yang pertama. Hal ini dikarenakan jumlah dari Rh-D janin yang masuk ke dalam sistem peredaran darah ibu tidak cukup banyak untuk memicu pembentukan antibodi dalam jumlah banyak.

Kemungkinan terjadinya eritroblastosis akan meningkat pada kehamilan kedua karena tubuh ibu sudah merekam memori akan antigen Rh-D sehingga pembentukan antibodi untuk melawan Rh-D tersebut juga akan berlangsung dengan lebih cepat dan berakibat pada terbentuknya banyak antibodi yang dapat merusak eritrosit janin. Karenanya, ibu yang memiliki ketidakcocokan rhesus dengan janinnya hanya mampu memiliki anak satu hingga maksimal 2, karena anak ketiga dan seterusnya kemungkinan besar dapat meninggal akibat eritroblastosis fetalis.

Antibodi yang telah dibentuk ini akan menyebabkan sel darah merah hancur dan berakibat pada anemia. Karena anemia inilah, maka tubuh janin akan melepaksan sel darah merah yang belum matang yang disebut eritroblast dari sumsum tulang. Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan hati dan limpa membesar. Selain itu, produksi eritroblas yang meningkat juga menyebabkan produksi komponen darah yang lain menjadi berkurang, hal inilah yang dapat memicu pendarahan dan komplikasi akibat ketidakseimbangan komposisi darah.

Sel darah merah yang hancur akan melepaskan hemoglobin. Nantinya hemoglobin ini yang akan berubah menjadi bilirubin. Dalam satu waktu, tubuh hanya mampu menampung bilirubin dalam jumlah yang terbatas. Hal ini menyebabkan terjadinya hyperbilirubinemia, yaitu sebuah kondisi dimana warna kulit dan mata janin menjadi kekuningan. Bila jumlah bilirubin meningkat dalam jumlah banyak, maka akan terbentuk endapan di otak yang dapat berujung pada ketidakmampuan mendengar, menghambat perkembangan mental, hingga kematian.

Selain penyakit kuning, pembengkakan hati dan limpa, serta peningkatan bilirubin, eritroblastosis fetalis juga dapat menyebabkan hidrop fetalis yang ditandai dengan pembengkakan pada tubuh janin karena adanya akumulasi atau penumpukan cairan dalam tubuh bayi pada tempat yang tidak seharusnya. Akumulasi cairan ini dapat mengakibatkan penghambatan pertumbuhan paru-paru dan menyebabkan penyakit jantung.

Lalu, apakah ada cara untuk mencegah dan menangani penyakit ini?

Saat ini, sudah ditemukan cara-cara untuk mencegah dan menangani penyakit eritroblastosis fetalis. Terbukti dari berkurangnya jumlah janin yang meninggal akibat eritroblastosis fetalis dari 20.000 janin menjadi kurang dari 4000 janin.

Untuk mencegah dan mengatasi penyakit ini terjadi, langkah paling awal yang bisa kita lakukan adalah melakukan tes darah bagi ibu yang mengandung untuk mengetahui apa golongan darah serta rhesus dan antibodi penyebab eritroblastosis lain yang dimilikinya. Selain ibu, ayah juga akan melakukan tes darah. Apabila rhesus dari ayah adalah negatif maka tidak dilakukan tes lebih lanjut karena artinya tidak ada kemungkinan terjadinya eritroblastosis fetalis. Namun, bila ayah memiliki rhesus positif artinya ada kemungkinan janin akan memiliki rhesus positif. Tes ini dilakukan agar tim medis mampu menentukan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit eritroblastosis fetalis.

Selanjutnya setelah mengetahui bahwa ada kemungkinan janin akan memiliki rhesus positif, konsentrasi antibodi pada tubuh ibu yang melawan Rh-D (anti Rh-D) akan dicek. Bila konsentrasi positif tetapi kurang dari batas yang ditentukan laboratorium, darah ibu akan dicek setiap 2-4 minggu setelah 20 minggu. Bila konsentrasi anti Rh-D melebihi batas, maka akan dicek setiap 1-2 minggu menyesuaikan rekam medis dari ibu. Apabila ditemui adanya peningkatan jumlah anti Rh-D pada tubuh ibu, maka aliran darah janin akan segera dites untuk melihat apakah ada sel darah merah yang pecah. Tujuan dari pengecekan ini adalah untuk mendeteksi apakah terjadi anemia pada janin atau tidak.

Selain itu, dapat dilakukan tes pada janin seperti pengambilan sample darah tali pusar, analisis cairan amnion (air ketuban), dan USG (ultra-sound based diagnostic). Ketiga tes ini dilakukan untuk memantau perkembangan janin. Bila kadar bilirubin tetap normal dan tidak terlihat tanda-tanda hidrop fetalis, maka kehamilan dapat dinyatakan aman. Tetapi, adanya kenaikan bilirubin dalam cairan ketuban atau darah janin serta indikasi dari hidrop fetalis saat USG menunjukkan bahwa janin mengalami komplikasi. Apabila terbukti ada komplikasi pada janin, maka dapat dilakukan transfusi darah setiap 1-2 minggu dan biasanya hingga waktu kehamilan 32-35 minggu.  

Terdapat dua teknik yang digunakan untuk melakukan tranfusi darah pada janin. Yang pertama dalah dengan memasukkan jarum melewati rahim ibu menuju perut bayi. Sel darah merah lalu akan dialirkan dan masuk dalam sistem darah janin. Selain itu, dapat juga dengan menggunakan jarum yang sangat tipis, diarahkan dengan ultrasound, langsung menuju pembuluh vena dari tali pusar janin untuk mengalirkan sel darah merah secara langsung kedalam peredaran darah janin.

Setelah lahir, kondisi janin masih perlu dipantau. Transfusi darah dapat dilakukan untuk mengatasi anemia, hyperbilirubinemia, dan pendarahan. Selain dengan transfusi darah, hyperbilirubinemia juga bisa ditangani dengan fototerapi, yaitu metelakkan bayi dibawah sebuah cahaya khusus yang dapat merubah bentuk molekuk bilirubin sehingga lebih mudah untuk diekskresikan oleh tubuh. Bila perlu, dapat dilakukan pemberian oksigen dan cairan elektrolit atau obat untuk mengatasi gejala-gejala lain.

Selain itu, resiko dari penyakit eritroblastosis juga dapat dikurangi dengan memberikan Rh-immunoglobulin kepada ibu. Rh-immunoglobulin atau sering disebut RhoGAM akan menghancurkan sel darah merah janin yang masuk ke dalam peredaran darah ibu sebelum anti-Rh dibentuk oleh tubuh ibu, sehingga akan mengurangi reaksi dari ibu kepada antigen yang dimiliki oleh janin. Pemberian RhoGAM ini dilakukan pada saat usia kehamilan 28 minggu. 

Selain itu, penyuntikan ini juga dilakukan 72 jam setelah bayi dilahirkan dengan tujuan untuk mengurangi reaksi antibodi ibu terhadap sisa-sisa sel darah merah bayi yang masih ada dalam tubuh ibu baik dalam peredaran darah maupun karena adanya tali pusar yang tertinggal. Untuk mencegah tertinggalnya tali pusar, dapat dihindari cara penghilangan plasenta secara manual karena dapat memicu sel-sel janin untuk masuk ke dalam peredaran darah ibu. Penyuntikan RhoGAM ini juga dapat dilakukan setelah adanya pendarahan pada ibu dan juga setelah analisis cairan amnion (amniocentesis) dan pengambilan sample tali pusar.

Cara-cara yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa eritroblastosis fetalis mampu untuk dicegah dan diatasi oleh kita mengingat saat ini, ilmu serta penemuan di bidang kesehatan makin berkembang.

Saat ini, di Asia dan Afrika masih jarang ditemui penyakit eritroblastosis fetalis. Hal ini dikarenakan rhesus yang dimiliki oleh orang Asia dan Afrika adalah rhesus positif. Sedangkan di Eropa, Amerika, dan Australia lebih banyak orang yang memiliki rhesus negatif sehingga lebih banyak dijumpai penyakit eritroblastosis fetalis.

Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk mengecek dan mengetahui apa jenis golongan darah serta rhesus kita sehingga mampu mencegah hal-hal yang tidak kita inginkan kedepannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun