Berbagai kasus pertikaian seringkali diawali dengan adanya perasaan superior dan perasaan lebih unggul daripada kelompok lainnya. Anak-anak yang merasa dihargai akan tumbuh jadi orang dewasa yang juga mau menghargai orang-orang di sekitarnya meskipun mungkin mereka berbeda keyakinan darinya. Keterampilan menghargai dan bertenggang rasa anak-anak inilah yang akan jadi pondasi kerukunan dan toleransi bangsa ini di masa depan. Untuk orang tua yang memiliki anak praremaja, ajarkan bagaimana cara menggunakan internet atau media sosial dengan aman dan pantau aktifitas sosial anak tanpa mengekang anak.
Media sosial saat ini bisa diibaratkan seperti angin yang membawa benih-benih anemokori ke segala penjuru dunia. Semua orang bisa mendapatkan informasi apapun secepat kilat. Tentu saja hal ini baik, jika yang disebarluaskan adalah benih-benih yang baik dan dipastikan akan sampai di tempat yang tepat. Tapi akan lain ceritanya jika benih yang disebarluaskan adalah benih yang tak jelas asal usulnya dan tidak sampai ke daerah yang tepat, kemungkinannya 2: benih tumbuh jadi gulma yang memangsa inangnya atau jika kebetulan itu benih yang baik dia tak akan bisa tumbuh subur, kecil kering kerontang dan lama-lama mati.
Semua pengguna media sosial memiliki kesempatan yang sama besar untuk ikut menyebarkan benih, baik itu benih baik maupun benih buruk. Pun setiap pengguna juga memiliki kesempatan yang sama untuk ikut menyiapkan tempat yang tepat untuk menyemaikan benih-benih yang telah diterbangkan angin. Jika semua orang memilah apa yang akan disebarkannya maka tak akan ada lagi konten-konten negatif bernada provokatif yang menjadi viral, membakar emosi, dan berakhir pada pertikaian.
Wajib kita ingat bahwa masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini telah berhasil membangun toleransi dan kerukunan beragama selama puluhan tahun. Saya tumbuh besar di sebuah kecamatan kecil yang terletak di jalur strategis Semarang – Jogja, Muntilan. Sejak kecil, saya terbiasa melaksanakan sholat iedul fitri dan iedul adha di sebuah lapangan yang kami sebut lapangan pasturan. Belakangan setelah agak besar, saya tahu bahwa kata “pasturan” itu merujuk pada kata pastur atau pastor.
Ternyata memang lapangan tempat saya rutin melakukan Sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha ini terletak di kompleks bangunan katolik, seperti SMU Vanlith, Gereja Santo Antonius, Kerkhof Muntilan, Bruderan FIC, dan beberapa sekolah lainnya. Kompleks ini sangat legendaris di kalangan umat Katolik, bahkan sampai-sampai Muntilan mendapat julukan Bethlehem Van Java [sumber], karena telah dibangun 1911. Tak jauh dari kompleks ini, kita juga akan menemui kompleks pondok pesantren dan pemakaman para Kyai yang juga sangat legendaris bagi kalangan Umat Islam, tepatnya di desa Gunung Pring yaitu Pondok Pesantren Darussalam.
Di kompleks Gunung Pring ini, disemayamkan para Kyai dan ulama yang memiliki peran besar dalam perang melawan penjajah pada masa Pangeran Diponegoro. Tempat ini ramai dikunjungi para peziarah atau para santri dari berbagai daerah di Indonesia. Tak hanya itu, Muntilan juga punya Klenteng yang telah dibangun sejak tahun 1878 bernama Hok An Kiong yang terletak di jalan utama yang merupakan kawasan pecinan di Muntilan. Klenteng ini memiliki hiolo terbesar di Asia [sumber].
Selama puluhan tahun, warga di Muntilan hidup berdampingan, saling menghargai, dan tetap berusaha mewariskan kerukunan meskipun memiliki kepercayaan berbeda-beda. Muntilan tentu saja bukan kota besar, tapi soal toleransi boleh dijadikan contoh. Dan di Indonesia ini, saya yakin ada banyak Muntilan-Muntilan lain. Begitu juga ketika kita mulai memasuki interaksi dalam media sosial, ada norma dan etika yang tetap harus kita jaga agar tak mengganggu kenyamanan orang lain. Kemajuan teknologi dan kemudahan berkomunikasi harusnya bisa memperkuat bangunan kerukunan, dimanapun sebuah interaksi dilakukan.
* Anemokori adalah jenis perkembangbiakan tumbuhan dengan bantuan angin, ditandai dengan benih ringan bersayap yang mudah tertiup angin. Misalnya dandelion dan junggul [crassocephalum crepidioides]
facebook: https://www.facebook.com/devi.ms
twitter: https://twitter.com/devimartfi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H