Mohon tunggu...
devi ana
devi ana Mohon Tunggu... ibu & pembelajar -

Ibu & pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mulai Menghargai Sekarang, Tuai Kerukunan Kemudian

14 September 2016   14:13 Diperbarui: 16 September 2016   12:16 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pepatah berbahasa Jawa mengatakan: crah agawe bubrah, rukun agawe santoso. Pertikaian menciptakan kehancuran, kerukunan menciptakan kesejahteraan. Tentu kita semua sepakat dengan pepatah ini, tak ada yang meragukannya lagi. Faktor penting dalam membina kerukunan adalah kesediaan untuk saling menghargai dan adanya komunikasi yang baik.

Sebuah masalah kecil jika segera dikomunikasikan maka bisa cepat selesai dan rukun lagi, jika tak dikomunikasikan maka bisa jadi melebar dan bertambah runyam. Di era teknologi seperti sekarang, konon katanya jarak bisa terlipat hingga yang jauh terasa dekat karena mudahnya berkomunikasi. Tapi benarkah perkembangan teknologi yang mempermudah komunikasi juga berdampak positif pada kerukunan?

Informasi  yang terdistorsi

Saat ini, kemajuan teknologi yang mempermudah komunikasi sangat banyak jenisnya, misalnya yang paling marak adalah menjamurnya media sosial. Selain sms dan telepon, ternyata pertukaran pesan di media sosial juga sangat intens terjadi. Bahkan akses ke media sosial menduduki peringkat pertama dalam penggunaan internet di Indonesia. Pengguna internet berjumlah 88,1 juta pengguna dan 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif [sumber].

Media sosial yang paling banyak digunakan saat ini adalah facebook, baik itu untuk keperluan chatting, mengupload foto, membagikan berita, atau menuliskan status. Saya dan ribuan pengguna lainnya pastinya sangat diuntungkan dengan adanya media sosial, bisa mengetahui kabar teman lama, bertukar informasi, bahkan berjualanpun pasti laris. Salah satu hal yang sering dilakukan pengguna media sosial adalah membagikan berita dari media online/ blog/ status dari pengguna lain.

Ribuan konten positif dibagikan seperti tutorial membuat produk handmade, tawaran beasiswa, parenting, keagamaan, pola makan sehat, resep makanan, olahraga, info travelling, dan lainnya. Tapi ada juga konten negatif yang ditiupkan oleh sekelompok orang yang kemudian menjadi viral setelah disebarluaskan oleh jutaan pengguna sosial media. Konten negatif yang sering ditemui adalah isu negatif seorang tokoh, black campaign menjelang pemilu, mitos seputar masalah kesehatan dan pengobatan, dan hujatan berbau agama. Dalam belantara media sosial, semua orang ingin eksis dan berpendapat tapi tak semua memiliki kapasitas untuk menyaring pendapat agar tak meyesatkan orang lain.

Ditambah lagi, medis sosial menyajikan bentuk interaksi baru yang memungkinkan seseorang menyembunyikan identitas aslinya atau anonim sehingga pengguna merasa aman meluapkan emosi dan pendapat negatif tanpa takut mendapatkan sanksi hukum-sosial.

Adanya fasilitas ‘share’ dalam media sosial seringkali memberikan ruang bagi pengguna untuk memberikan tambahan informasi atau pendapat pribadi. Bayangkan saja jika awalnya suatu info ditulis oleh seseorang sebagai ‘x’ lalu dishare dengan tambahan info ‘y’, dishare lagi dengan tambahan pendapat ‘a’ dan seterusnya maka informasi yang sampai di penghujung sana adalah informasi carut marut yang tak jelas lagi asal usulnya.

Dalam komunikasi antara 2 orangpun sering kali terjadi salah paham, apalagi komunikasi yang dilakukan jutaan pengguna media sosial yang tak saling kenal, tentu mungkin sekali terjadi penyimpangan. Penyimpangan atau distorsi informasi ini bisa berakibat fatal jika menyinggung masalah sensitif, dalam hal ini adalah agama, contohnya seperti yang belum lama ini terjadi di Tanjung Balai [sumber]. Tempat ibadah, rumah penduduk, dan fasilitas lainnya hancur karena hasutan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Masih ada beberapa sebab lain mengapa kerusuhan terjadi ‘hanya’ karena hasutan dari media sosial yang tak jelas siapa pelaku awalnya. Selain adanya penyimpangan informasi, seseorang memaknai suatu informasi juga akan sangat dipengaruhi oleh kepribadian, latar belakang sosial, nilai-nilai kepercayaan, dan pengalaman personal. Sebuah informasi bisa dimaknai berbeda oleh dua kelompok karena kedua kelompok ini memiliki nilai kepercayaan dan latar belakang berlainan. Dengan demikian, pemaknaan informasi ini seringkali mengandung prasangka karena sangat lekat dengan pengalaman dan pengetahuan si penerima informasi.

Prasangka bisa dengan mudah memicu konflik jika menghinggapi sekelompok orang yang merasa frustasi, merasa diperlakukan tidak adil, atau merasa ada kelompok lain yang mengancam nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Konflik terbuka sangat mungkin terjadi jika orang-orang yang memiliki kesamaan prasangka bergabung membentuk kerumunan [crowd] dan ada yang memulai melakukan penyerangan untuk menumpas sesuatu yang dianggap salah oleh kelompok tersebut. Dalam media sosial, kerumunan yang terbentuk bersifat “rapuh” karena seringkali hanya berdasarkan kesamaan identitas yang sangat mudah dipalsukan. Interaksi anonim juga membuat orang kehilangan kemampuan untuk menghargai orang yang berbeda, baik berbeda agama, berbeda pendapat, atau berbeda kepentingan.

Selain itu, meskipun angka pengguna internet di Indonesia sangat tinggi tapi tak diimbangi dengan pengetahuan berinternet yang aman dan cerdas. Hasil riset dari ESET Asia Pacific menjelaskan bahwa pengetahuan berinternet di Indonesia adalah yang paling rendah diantara 6 negara yang menjadi target riset [sumber]. Jika keamanan dasar berinternet saja masih sangat kurang, apalagi pertimbangan keamanan dan resiko saat memilah dan menyebarluaskan info dari media sosial.

Pengguna sosial yang tak memiliki pengetahuan cukup tentang berinternet cerdas akan kesulitan memahami efek samping dari status, gambar, dan berita yang dibagikannya. Karena dunia maya adalah dunia luas tanpa sekat maka satu foto yang diunggah dan satu status yang dituliskan akan dilihat oleh jutaan orang diseluruh dunia yang memiliki latar belakang beragam, maka sangat mungkin ada sekelompok orang yang merasa terhina dengan suatu informasi yang bersifat menyudutkan suku, agama, dan ras.

Jika dilihat kembali data pengguna internet di Indonesia, jumlah pengguna terbesar adalah kelompok usia muda yaitu 35 juta akun dalam kelompok usia 20-29 tahun dan 26 juta akun dalam kelompok berusia 13-19 tahun [sumber]. Kelompok usia 13-19 tahun [remaja] merupakan kelompok yang rentan termakan isu negatif karena kelompok usia ini masih dalam usaha membangun identitas diri, emosi belum stabil, dan mungkin juga kurang memiliki kepedulian terhadap masalah toleransi disekitarnya. Keinginan untuk menjadi trendsetter, keinginan dianggap gagah berani dan tak ingin terikat norma yang dianggap kuno membuat kaum remaja seringkali tak berfikir panjang untuk melakukan hal negatif di dunia maya.

Jadi meskipun menjamurnya penggunaan media sosial dapat meningkatkan kuantitas komunikasi antarmanusia tapi belum menjadi jalur komunikasi yang efektif. Bahkan karena terjadinya banyak penyimpangan informasi dan penyimpangan penggunaan, komunikasi di media sosial malah bisa menjadi bibit konflik dan pertikaian. Padahal pertikaian antaragama dan antarkelompok sosial adalah ancaman serius bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Banyaknya tempat ibadah yang rusak, terkoyaknya rasa aman masyarakat, rumah-rumah yang terbakar, trauma yang dialami anak-anak di daerah konflik yang akan ditanggung seumur hidup dan lain sebagainya. Jadi bagaimana agar kemajuan teknologi dan media sosial tak berdampak buruk bagi kita?

4-yuk-2-57d8fcae45afbdad46c6ed11.jpg
4-yuk-2-57d8fcae45afbdad46c6ed11.jpg
Efektif, bijak, dan teladan

Bagian paling penting dari ilmu komunikasi adalah bagaimanan membangun pola komunikasi yang efektif. Bagaimana berkomunikasi yang efektif di media sosial? Pertama selalu cek dan kroscek konten sebelum kita bagikan. Jika masih berupa kabar burung, tunggu dulu sampai ada konfirmasi informasi yang valid.

Jika sumber beritanya tak jelas, cari perbandingan dari sumber lain. Ibaratnya orang tuna netra yang ingin mengetahui bentuk gajah, jika hanya memegang ekor atau belalai maka kesimpulan yang diambil bisa jadi salah, ada baiknya memegang gajahnya dari berbagai sisi sebelum menyimpulkan.

Membaca sebuah berita dari berbagai sumber yang valid akan mempermudah kita mengambil kesimpulan berimbang. Jika ingin menulis pendapat atau membagikan berita, pastikan memang kita punya sumber yang meyakinkan, ingatlah bahwa di jaman ini pepatah mengatakan “statusmu, harimaumu” dan “yang lebih tajam dari pedang adalah tulisan”. Apalagi jika hal yang kita tulis adalah kabar sensitif menyangkut suku, agama, atau ras tertentu.

Yang kedua adalah meningkatkan kesadaran pengguna internet tentang penggunaan media sosial secara bijak. Ini tentu saja tantangan sangat berat karena begitu luasnya dunia maya yang tak bersekat ini, jutaan orang berinteraksi dengan latar belakang yang berbeda. Tapi meskipun sulit, harus mulai membangun masyarakat bijak teknologi [bukan hanya melek teknologi]. Orang pintar tahu cara menggunakan sosial media, orang bijak tahu kapan harus jeda menggunakan media sosial.

Jika ada informasi yang berpotensi menimbulkan konflik, itulah saat yang tepat menyelesaikan penyebaran informasi itu hanya pada diri kita sendiri. Cari tahu dulu kebenaran kabar yang baru diterima. Jika sebuah kabar berita membuat kita sangat marah dan tersinggung, ambil jeda untuk berfikir dan jauhi dulu media sosial. Keadaan marah sering membuat kita lepas kontrol sehingga tanpa sadar memposting masalah dan aib pribadi, menuliskan kata-kata yang menyakiti penganut agama lain, bahkan menimbulkan kemarahan kelompok tertentu.

Menggunakan internet dengan bijak juga bisa dilakukan dengan menuliskan hal-hal positif, pencapaian dan keberhasilan, berita tentang kedamaian, atau ajakan untuk saling menghargai dan menjaga kerukunan. Telah disepakat bahwa media massa [dalam hal ini adalah media sosial] bisa membentuk pandangan masyarakat umum tentang suatu peristiwa.

Jika media sosial dipenuhi hal negatif dan hujatan terhadap suatu kelompok, maka masyarakat akan merasakan sensasi double dosedari kelompok yang disebutkan. Begitu juga sebaliknya. Selalu tinjau ulang setiap tulisan dan gambar, apakah menghargai keragaman atau justru menyudutkan suatu kelompok?

masa-depan-kerukunan-57d8fc910223bda344f3dfc2.jpg
masa-depan-kerukunan-57d8fc910223bda344f3dfc2.jpg
Yang ketiga adalah membekali anak-anak kita dengan pengetahuan tentang keberagaman bangsa dan keterampilan bertenggang rasa sedini mungkin, dimulai dari rumah masing-masing. Buka wawasan anak mengenai berbagai suku bangsa dan agama yang dianut di Indonesia. orang tua juga harus memberikan teladan bagaimana cara menghargai keyakinan dan perasaan anak, jangan memaksakan pendapat hanya karena kita sebagai orang tua merasa lebih superior dan lebih pintar dari anak.

Berbagai kasus pertikaian seringkali diawali dengan adanya perasaan superior dan perasaan lebih unggul daripada kelompok lainnya. Anak-anak yang merasa dihargai akan tumbuh jadi orang dewasa yang juga mau menghargai orang-orang di sekitarnya meskipun mungkin mereka berbeda keyakinan darinya. Keterampilan menghargai dan bertenggang rasa anak-anak inilah yang akan jadi pondasi kerukunan dan toleransi bangsa ini di masa depan. Untuk orang tua yang memiliki anak praremaja, ajarkan bagaimana cara menggunakan internet atau media sosial dengan aman dan pantau aktifitas sosial anak tanpa mengekang anak.

Media sosial saat ini bisa diibaratkan seperti angin yang membawa benih-benih anemokori ke segala penjuru dunia. Semua orang bisa mendapatkan informasi apapun secepat kilat. Tentu saja hal ini baik, jika yang disebarluaskan adalah benih-benih yang baik dan dipastikan akan sampai di tempat yang tepat. Tapi akan lain ceritanya jika benih yang disebarluaskan adalah benih yang tak jelas asal usulnya dan tidak sampai ke daerah yang tepat, kemungkinannya 2: benih tumbuh jadi gulma yang memangsa inangnya atau jika kebetulan itu benih yang baik dia tak akan bisa tumbuh subur, kecil kering kerontang dan lama-lama mati.

Semua pengguna media sosial memiliki kesempatan yang sama besar untuk ikut menyebarkan benih, baik itu benih baik maupun benih buruk. Pun setiap pengguna juga memiliki kesempatan yang sama untuk ikut menyiapkan tempat yang tepat untuk menyemaikan benih-benih yang telah diterbangkan angin. Jika semua orang memilah apa yang akan disebarkannya maka tak akan ada lagi konten-konten negatif bernada provokatif yang menjadi viral, membakar emosi, dan berakhir pada pertikaian.

Wajib kita ingat bahwa masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini telah berhasil membangun toleransi dan kerukunan beragama selama puluhan tahun. Saya tumbuh besar di sebuah kecamatan kecil yang terletak di jalur strategis Semarang – Jogja, Muntilan. Sejak kecil, saya terbiasa melaksanakan sholat iedul fitri dan iedul adha di sebuah lapangan yang kami sebut lapangan pasturan. Belakangan setelah agak besar, saya tahu bahwa kata “pasturan” itu merujuk pada kata pastur atau pastor.

Ternyata memang lapangan tempat saya rutin melakukan Sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha ini terletak di kompleks bangunan katolik, seperti SMU Vanlith, Gereja Santo Antonius, Kerkhof Muntilan, Bruderan FIC, dan beberapa sekolah lainnya. Kompleks ini sangat legendaris di kalangan umat Katolik, bahkan sampai-sampai Muntilan mendapat julukan Bethlehem Van Java [sumber], karena telah dibangun 1911. Tak jauh dari kompleks ini, kita juga akan menemui kompleks pondok pesantren dan pemakaman para Kyai yang juga sangat legendaris bagi kalangan Umat Islam, tepatnya di desa Gunung Pring yaitu Pondok Pesantren Darussalam.

Di kompleks Gunung Pring ini, disemayamkan para Kyai dan ulama yang memiliki peran besar dalam perang melawan penjajah pada masa Pangeran Diponegoro. Tempat ini ramai dikunjungi para peziarah atau para santri dari berbagai daerah di Indonesia. Tak hanya itu, Muntilan juga punya Klenteng yang telah dibangun sejak tahun 1878 bernama Hok An Kiong yang terletak di jalan utama yang merupakan kawasan pecinan di Muntilan. Klenteng ini memiliki hiolo terbesar di Asia [sumber].

Selama puluhan tahun, warga di Muntilan hidup berdampingan, saling menghargai, dan tetap berusaha mewariskan kerukunan meskipun memiliki kepercayaan berbeda-beda. Muntilan tentu saja bukan kota besar, tapi soal toleransi boleh dijadikan contoh. Dan di Indonesia ini, saya yakin ada banyak Muntilan-Muntilan lain. Begitu juga ketika kita mulai memasuki interaksi dalam media sosial, ada norma dan etika yang tetap harus kita jaga agar tak mengganggu kenyamanan orang lain. Kemajuan teknologi dan kemudahan berkomunikasi harusnya bisa memperkuat bangunan kerukunan, dimanapun sebuah interaksi dilakukan.

* Anemokori adalah jenis perkembangbiakan tumbuhan dengan bantuan angin, ditandai dengan benih ringan bersayap yang mudah tertiup angin. Misalnya dandelion dan junggul [crassocephalum crepidioides]

facebook: https://www.facebook.com/devi.ms

twitter: https://twitter.com/devimartfi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun