Mohon tunggu...
devi ana
devi ana Mohon Tunggu... ibu & pembelajar -

Ibu & pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mulai Menghargai Sekarang, Tuai Kerukunan Kemudian

14 September 2016   14:13 Diperbarui: 16 September 2016   12:16 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, meskipun angka pengguna internet di Indonesia sangat tinggi tapi tak diimbangi dengan pengetahuan berinternet yang aman dan cerdas. Hasil riset dari ESET Asia Pacific menjelaskan bahwa pengetahuan berinternet di Indonesia adalah yang paling rendah diantara 6 negara yang menjadi target riset [sumber]. Jika keamanan dasar berinternet saja masih sangat kurang, apalagi pertimbangan keamanan dan resiko saat memilah dan menyebarluaskan info dari media sosial.

Pengguna sosial yang tak memiliki pengetahuan cukup tentang berinternet cerdas akan kesulitan memahami efek samping dari status, gambar, dan berita yang dibagikannya. Karena dunia maya adalah dunia luas tanpa sekat maka satu foto yang diunggah dan satu status yang dituliskan akan dilihat oleh jutaan orang diseluruh dunia yang memiliki latar belakang beragam, maka sangat mungkin ada sekelompok orang yang merasa terhina dengan suatu informasi yang bersifat menyudutkan suku, agama, dan ras.

Jika dilihat kembali data pengguna internet di Indonesia, jumlah pengguna terbesar adalah kelompok usia muda yaitu 35 juta akun dalam kelompok usia 20-29 tahun dan 26 juta akun dalam kelompok berusia 13-19 tahun [sumber]. Kelompok usia 13-19 tahun [remaja] merupakan kelompok yang rentan termakan isu negatif karena kelompok usia ini masih dalam usaha membangun identitas diri, emosi belum stabil, dan mungkin juga kurang memiliki kepedulian terhadap masalah toleransi disekitarnya. Keinginan untuk menjadi trendsetter, keinginan dianggap gagah berani dan tak ingin terikat norma yang dianggap kuno membuat kaum remaja seringkali tak berfikir panjang untuk melakukan hal negatif di dunia maya.

Jadi meskipun menjamurnya penggunaan media sosial dapat meningkatkan kuantitas komunikasi antarmanusia tapi belum menjadi jalur komunikasi yang efektif. Bahkan karena terjadinya banyak penyimpangan informasi dan penyimpangan penggunaan, komunikasi di media sosial malah bisa menjadi bibit konflik dan pertikaian. Padahal pertikaian antaragama dan antarkelompok sosial adalah ancaman serius bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Banyaknya tempat ibadah yang rusak, terkoyaknya rasa aman masyarakat, rumah-rumah yang terbakar, trauma yang dialami anak-anak di daerah konflik yang akan ditanggung seumur hidup dan lain sebagainya. Jadi bagaimana agar kemajuan teknologi dan media sosial tak berdampak buruk bagi kita?

4-yuk-2-57d8fcae45afbdad46c6ed11.jpg
4-yuk-2-57d8fcae45afbdad46c6ed11.jpg
Efektif, bijak, dan teladan

Bagian paling penting dari ilmu komunikasi adalah bagaimanan membangun pola komunikasi yang efektif. Bagaimana berkomunikasi yang efektif di media sosial? Pertama selalu cek dan kroscek konten sebelum kita bagikan. Jika masih berupa kabar burung, tunggu dulu sampai ada konfirmasi informasi yang valid.

Jika sumber beritanya tak jelas, cari perbandingan dari sumber lain. Ibaratnya orang tuna netra yang ingin mengetahui bentuk gajah, jika hanya memegang ekor atau belalai maka kesimpulan yang diambil bisa jadi salah, ada baiknya memegang gajahnya dari berbagai sisi sebelum menyimpulkan.

Membaca sebuah berita dari berbagai sumber yang valid akan mempermudah kita mengambil kesimpulan berimbang. Jika ingin menulis pendapat atau membagikan berita, pastikan memang kita punya sumber yang meyakinkan, ingatlah bahwa di jaman ini pepatah mengatakan “statusmu, harimaumu” dan “yang lebih tajam dari pedang adalah tulisan”. Apalagi jika hal yang kita tulis adalah kabar sensitif menyangkut suku, agama, atau ras tertentu.

Yang kedua adalah meningkatkan kesadaran pengguna internet tentang penggunaan media sosial secara bijak. Ini tentu saja tantangan sangat berat karena begitu luasnya dunia maya yang tak bersekat ini, jutaan orang berinteraksi dengan latar belakang yang berbeda. Tapi meskipun sulit, harus mulai membangun masyarakat bijak teknologi [bukan hanya melek teknologi]. Orang pintar tahu cara menggunakan sosial media, orang bijak tahu kapan harus jeda menggunakan media sosial.

Jika ada informasi yang berpotensi menimbulkan konflik, itulah saat yang tepat menyelesaikan penyebaran informasi itu hanya pada diri kita sendiri. Cari tahu dulu kebenaran kabar yang baru diterima. Jika sebuah kabar berita membuat kita sangat marah dan tersinggung, ambil jeda untuk berfikir dan jauhi dulu media sosial. Keadaan marah sering membuat kita lepas kontrol sehingga tanpa sadar memposting masalah dan aib pribadi, menuliskan kata-kata yang menyakiti penganut agama lain, bahkan menimbulkan kemarahan kelompok tertentu.

Menggunakan internet dengan bijak juga bisa dilakukan dengan menuliskan hal-hal positif, pencapaian dan keberhasilan, berita tentang kedamaian, atau ajakan untuk saling menghargai dan menjaga kerukunan. Telah disepakat bahwa media massa [dalam hal ini adalah media sosial] bisa membentuk pandangan masyarakat umum tentang suatu peristiwa.

Jika media sosial dipenuhi hal negatif dan hujatan terhadap suatu kelompok, maka masyarakat akan merasakan sensasi double dosedari kelompok yang disebutkan. Begitu juga sebaliknya. Selalu tinjau ulang setiap tulisan dan gambar, apakah menghargai keragaman atau justru menyudutkan suatu kelompok?

masa-depan-kerukunan-57d8fc910223bda344f3dfc2.jpg
masa-depan-kerukunan-57d8fc910223bda344f3dfc2.jpg
Yang ketiga adalah membekali anak-anak kita dengan pengetahuan tentang keberagaman bangsa dan keterampilan bertenggang rasa sedini mungkin, dimulai dari rumah masing-masing. Buka wawasan anak mengenai berbagai suku bangsa dan agama yang dianut di Indonesia. orang tua juga harus memberikan teladan bagaimana cara menghargai keyakinan dan perasaan anak, jangan memaksakan pendapat hanya karena kita sebagai orang tua merasa lebih superior dan lebih pintar dari anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun