Mohon tunggu...
Deva Yohana
Deva Yohana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengupas seputar dunia komunitas sampai tuntas - Aktif bergerak di isu pendidikan dan literasi - Pecinta buku, sastra, dan bahasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengabdi kepada Bangsa melalui Kanca Bahasa

17 Agustus 2023   23:57 Diperbarui: 18 Agustus 2023   00:25 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kamu bertanya padaku apa yang paling kusuka? Jawabannya adalah 'kata'. Ya, aku menyukai kata-kata. Aku suka mengamati barisan kata-kata yang termuat dalam novel, cerpen, buku biografi, hingga yang ada di koran atau konten media sosial sekalipun.

Aku juga suka menyimak kata-kata yang disampaikan orang lain manakala ia bercerita, berpidato, atau sekadar berbincang ringan. Aku suka menikmati suara yang terdengar manakala ia berbicara, seperti apa gaya bicaranya, atau diksi apa yang sering ia gunakan. Pokoknya aku suka kata, aku suka bahasa. Dan, semua itu ada ceritanya.

Awal Mula Suka Bahasa

Adalah salah ketika kamu mengira aku telah suka kata-kata sejak kecil. Salah besar. Aku mulai menyukai aktivitas ini sejak duduk di bangku SMA. Bukan aku yang menyadarinya, tetapi guruku, bapak guru bahasa Indonesia.

Tiba-tiba saja beliau mendatangiku ketika kelasnya sedang berlangsung. Katanya, "kalau kamu kuliah ambil jurusan bahasa, ya." Bukannya menjawab "kenapa harus bahasa, Pak?", aku langsung menjawab, "tidak, Pak. Saya mau ambil jurusan sosiologi saja. Saya pengen jadi sosiolog."

Seandainya diberi kesempatan bertemu langsung dengan beliau, ingin kukatakan dengan bangga bahwa sekarang aku kuliah di jurusan bahasa, lebih tepatnya di jurusan Bahasa dan Sastra Arab di salah satu universitas Islam. Pun, sungguh disayangkan, ketika aku sudah mengenali renjanaku di bidang bahasa, pak guru sudah pindah dari SMA kami.

Pengalaman Belajar Bahasa Otodidak

Masa-masa SMA aku anggap sebagai masa terbaik karena pada masa inilah kecintaanku terhadap bahasa mulai tumbuh. Aku suka pelajaran bahasa Indonesia, sangat antusias belajar bahasa Inggris, sangat menantikan pelajaran bahasa Jawa, dan tidak sabar untuk belajar bahasa Prancis. Meskipun begitu, aku tetap menyukai mata pelajaran ilmu sosial, terutama sejarah dan sosiologi.

Mempelajari bahasa di sekolah membuatku tidak puas. Rasanya masih ada yang kurang, salah satunya karena terbatasnya jumlah jam pelajaran. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, aku mengajukan ke ibuku untuk ikut kursus bahasa Inggris. Sayangnya, permintaanku ditolak. Lebih baik kursusnya nanti saja kalau mau ujian nasional (UN). Lama sekali, padahal waktu itu aku masih kelas X.

Tak mau semangatku luntur begitu saja, aku mulai mencari alternatif lain. Yap, memanfaatkan Google untuk belajar. Akan tetapi, belajar lewat website tidak membuatku cepat paham. Aku malah dibikin pening karena banyaknya pilihan bahan belajar. Untungnya, aku menemukan salah satu website yang di dalamnya menjual buku dan mendapatkan testimoni yang bagus dari pembacanya. Sejak saat itu, aku mulai membagi uang sakuku menjadi dua, untuk jajan dan beli buku. Perlu beberapa bulan sampai akhirnya buku bahasa Inggris itu berhasil aku beli. Bahkan, saat aku sudah menginjak kelas XI.

Senang sekali mendapati kenyataan buku tersebut sangat cocok kugunakan untuk belajar secara mandiri. Dari situ aku semakin paham dengan konsep bahasa Inggris dan sangat bersemangat dalam mempelajarinya, terutama ketika pelajaran bahasa Inggris sedang berlangsung di dalam kelas.

Selain bahasa Inggris, mempelajari bahasa Prancis di kelas juga menjadi kesenangan tersendiri bagiku. Kebetulan selama lima semester di SMA aku mendapatkan mata pelajaran ini sebagai  lintas minat untuk jurusan IPS. Nilai bahasa Prancisku termasuk yang tertinggi di kelas dan aku sempat terpilih untuk mengikuti lomba cerdas cermat (LCC) bahasa Prancis tingkat SMA yang diselenggarakan oleh UNNES. Meskipun tersisih pada babak 5 besar, aku merasa bangga karena bisa mewakili sekolahku.

Selain bahasa Inggris dan Prancis, aku mulai mengeksplorasi bahasa asing lainnya. Pilihanku jatuh pada bahasa Spanyol dan Arab. Kenapa bahasa Spanyol? Arrgh, ini karena aku iseng-iseng saja menggunakan uang sisa study tour untuk membeli Kamus Spanyol Indonesia karya Milagros Guindel. Aku memanfaatkan kemampuan bahasa Inggrisku untuk mendalami bahasa ini. Maklum, buku belajar bahasa Spanyol yang menggunakan bahasa Indonesia sangat jarang dan aku tidak kepikiran untuk membelinya.

Lantas, kenapa bahasa Arab? sebenarnya aku tidak begitu asing dengan bahasa ini karena sudah mulai kupelajari ketika sekolah TPQ dan madrasah. Tapi pelajaran bahasa Arab yang disampaikan pada masa itu rasanya hanya lewat begitu saja, kecuali aku menjadi bisa membaca Al-Qur'an dan dapat menulis aksaranya dengan baik. Untuk alasan mempelajarinya lagi sederhana saja, sempat tercetus keinginan untuk sekolah SMA sambil mondok (masuk pesantren). Akan tetapi, kondisi kesehatanku tidak begitu baik, sehingga aku mengubur begitu saja keinginanku itu.

Satu hal yang aku ingat. Waktu itu aku selalu berdoa begini, "Ya Allah, nggak papa aku nggak masuk pesantren. Satu pintaku, mudahkanlah aku dalam belajar bahasa Arab dan berilah aku kemudahan dalam memahaminya. Semoga bahasa Spanyol dapat membantuku dalam memahami bahasa ini karena aku sempat menonton video di Youtube yang menerangkan bahwa bahasa Spanyol mendapat pengaruh dari bahasa Arab."

Barangkali berkat doa dan semangatku itu aku berhasil masuk di jurusan Bahasa dan Sastra Arab di salah satu universitas Islam tanpa background pesantren setelah dua tahun gap year untuk bekerja dan mendaftar melalui jalur tes mandiri.

Masalah Ketimpangan Berbahasa

Sejak masa SMA itu aku mulai mengamati dan bertanya-tanya. Kok teman-teman di kelasku tidak seantusias aku dalam belajar bahasa, ya? Beberapa di antara mereka malah terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada mata pelajaran bahasa Prancis dan Inggris. Ini masalah selera, kurangnya keterbukaan mereka terhadap ilmu, atau pelajaran bahasa itu sendiri yang susah? Jangan-jangan ini terkait dengan kurangnnya akses kami dalam mempelajari bahasa asing? Maklum, waktu itu di daerah kami jauh dari toko buku, sinyal masih susah, dan tempat kursus masih sangat jarang.

Oh, aku ingat sesuatu. Beberapa orang bertanya padaku. Apa pentingnya belajar bahasa Spanyol? Kenapa harus belajar bahasa Spanyol kalau kamu nggak tinggal di sana? Mungkin akar masalahnya justru ada di sini. Aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Silakan ditafsirkan sendiri apa masalah yang dapat ditemukan dari kedua pertanyaan tersebut.

Cerita di atas mewakili kehidupanku ketika masih SMA dan tinggal di desa. Ketika merantau ke kota, aku bergabung di salah satu komunitas bahasa Spanyol. Tidak tanggung-tanggung aku menjadi pengurus di komunitas tersebut dan sempat beberapa kali mengikuti kegiatan yang diadakan secara offline.

Apa yang aku dapatkan? Lingkaran pertemananku di komunitas tersebut rata-rata merupakan orang menengah ke atas. Mereka dapat mengikuti kursus di tempat bergengsi yang menurut standar gaya hidupku tergolong mahal. Mereka pun dapat dengan mudah bergaul dengan para native speaker yang berasal dari negara Spanyol dan Amerika Latin.

Tercetusnya Españolito dan Frencheese

Aku sangat menyadari adanya ketimpangan dalam penguasaan bahasa pada masyarakat Indonesia. Ini tidak terbatas pada masalah orang desa atau kota, akses yang mudah atau sulit. Ternyata masalahnya lebih kompleks dari itu. Karena hal tersebut,  aku sempat berpikir seandainya saja aku bisa membuat sekolah bahasa gratis.

Masa pandemi mengantarkan kita pada pembelajaran yang diadakan secara online di rumah. Dari situlah aku berpikir kenapa aku tidak memulainya dari sini? Iya,untuk mewujudkan impianku itu. Mulai saja dari mengadakan pembelajaran bahasa asing secara online. Lagipula aku memiliki dua channel Telegram, yakni Belajar Bahasa Spanyol dan Belajar Bahasa Prancis yang masing-masingnya memiliki  ribuan anggota.

Januari 2022 aku mulai memberanikan diri untuk mengadakan kelas gratis pertamaku dengan menarik peserta yang berasal dari kedua channel tersebut. Aku menamakan program tersebut dengan Españolito untuk pembelajaran bahasa Spanyol dan Frencheese untuk belajar bahasa Prancis.

Vol. 1 dari kedua program tersebut aku adakan dengan menarik peserta secara tertutup melalui caraku sendiri. Aku menganggapnya sebagai pilot project-ku. Aku perlu belajar dari berbagai kesalahan selama menjalankannya. Aku sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang diberikan para "rekan belajar", sebutanku pada mereka yang mengikuti program ini. Benar, aku belajar sangat banyak.

Aku sangat percaya bahwa berbuat baik itu dengan keajaibannya dapat menular kepada orang lain. Ini terbukti ketika akan mengadakan Españolito dan Frencheese Vol. 2, kedua temanku mengajukan diri untuk terlibat menjadi tutor, sehingga aku tidak sendirian lagi dalam menggerakkan program ini.

Lahirnya Komunitas Kanca Bahasa

Hingga saat ini kami telah menyelenggarakan program belajar Españolito dan Frencheese sebanyak 5x (Vol. 5 saat ini masih berjalan). Antusiasme anggota channel Telegram dalam mendaftar pun begitu tinggi. Namun, karena keterbatasan kami, kami tidak bisa menerima semua peserta. Hanya mereka yang lolos seleksilah yang dapat mengikuti pembelajaran ini. Itu pun hanya sekitar 15-20 orang.

Melalui cara tersebut, kami menyadari masih terjadi ketimpangan. Pembelajaran yang kami adakan belum bisa menggandeng semua pihak untuk terlibat belajar bahasa bersama.  Solusinya bagaimana? Kami sepakat untuk membuat sebuah komunitas yang diberi nama "Kanca Bahasa" yang mewadahi kedua program tersebut. Kami juga akan menambah program belajar bahasa asing lainnya, yaitu bahasa Arab dan Jepang.

Untuk memperkecil terjadinya ketimpangan, kami memutuskan untuk membuat blog yang berisi materi-materi yang telah kami buat sebagai bahan belajar, baik berbentuk artikel maupun e-book. Jadi, bagi yang tidak mengikuti pembelajarannya masih dapat mempelajari materi-materi yang kami berikan.

Komunitas Kanca Bahasa masih bayi. Baru dilahirkan pada 10 Agustus 2023 lalu. Kami berharap komunitas ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dengan menyediakan program belajar bahasa asing secara gratis. Lebih dari itu, hadirnya Kanca Bahasa adalah upaya kami mengabdikan diri pada bangsa ini melalui bahasa.

Sebagai penutup, aku ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Rusdi, Kak Rere, Kak Kanta, dan Kak Martin yang dengan penuh semangat ikut terlibat dalam lahirnya komunitas ini. Mereka adalah orang-orang hebat yang selama ini turut serta dalam menyebarkan ilmu dan kebaikan. Sekali lagi terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun