Untuk hikmah yang didapatkan dari pernikahan yang sudah dicatatkan secara sah menurut agama dan hukum di Indonesia ialah, mendapatkan hak dalam keluarganya. Apabila ada urusan yang berkaitan dengan kepengurusan di pernikahan akan dilayani dengan sepenuh hati.
Pendapat Ulama dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Pendapat para ulama tentang perkawinan wanita hamil
Pendapat pertama Imam Ahmad bin Hanbali, bahwa perkawinan antara wanita hamil dengan pria zina tidak diperbolehkan sampai melahirkan.
Kedua, mazhab Syafi'i mengatakan bahwa boleh menikah dengan wanita hamil karena zina atas nama orang yang menghamilinya atau atas nama orang lain. Tapi jangan salah paham. Apakah dia bebas dari dosa perzinahan atau apakah dia bebas dari murka Allah? Sama sekali tidak. Ini dari sudut pandang hukum. Menurut mazhab ini, wanita yang berzina bukanlah iddah. Adapun perkawinan, perkawinan itu tetap sah.
Pendapat ketiga dari Malikiyah, pernikahannya tidak sah kecuali dengan laki-laki yang melahirkannya dan dia harus memenuhi syarat yaitu dia harus bertaubat terlebih dahulu.
Pendapat keempat madzhab Hanafiyyah adalah masih adanya perbedaan pendapat dalam pendanaan, antara lain: Pernikahan tetap sah, baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak, Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan, Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan, Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).
Dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari Bab tersebut berisi tiga (3) ayat :
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), nikah hamil itu difatwakan dalam kategori hukum bisa, belum tentu setelah hidup berdasarkan hukum umum. Padahal, definisinya adalah apakah boleh hamil menetap di KHI dan bergerak kurang lebih dari pemukiman dengan hukum umum. Kompromi ini dibuat dari ingatan Padahal, realitanya masalah ini menjadi ikhtilaf dalam fikih mempertimbangkan faktor sosiologis dan psikologis. Dari berbagai faktor Dari sini ditarik kesimpulan dengan istilah prinsip istislah. Jadi, Tim penyusun KHI menilai lebih masuk akal untuk mengizinkan pernikahan hamil bukannya mengingkarinya, tentunya dengan beberapa syarat.
Perceraian
Upaya yang dilakukan untuk menghindari perceraian dalam islam, Manakala "Nusyuz" (ketercelaan) tersebut datang dan tumbuh dari pihak isteri, maka suami berkewajiban terlebih dahulu untuk memberi pengajaran kepada isterinya dengan tindakan sebagai berikut:
- Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positif (at-tarhib wa tarhib)
- Apabila usaha dan langkah pertama tidak berhasil, langkah kedua adalah pisah tempat tidur suami dengan isteri, meskipun masih dalam satu rumah. Cara ini dimaksudkan agar dalam "kesendirian tidurnya" ia memikirkan untung rugi dari semua perilakunya.
- Apabila langkah kedua tersebut tidak juga berubah pendirian si isteri, maka langkah ketiga adalah melakukan tindakan pemukulan, namun tidak sampai pada tataran melukai dan membahayakan.