Mohon tunggu...
Deva MuhammadFauzi
Deva MuhammadFauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi cuan

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Book "Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia" Karya Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., M.Hum

11 Maret 2023   17:01 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:06 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya permasalahan tentang pengakuan anak dalam hukum perdata disini menjelaskan diantaranya Pengakuan anak dilakukan dengan membuat pernyataan, bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan adalah anak biologisnya. Pengakuan hanya dapat dilakukan bila ibu kandung si anak menyetujuinya. Pengakuan harus didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil agar berlaku mengikat. Untuk pengakuan anak dalam hukum Islam yaitu tentang Pengakuan anak dalam Hukum Islam yaitu pengakuan seorang laki-laki secara suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut diluar nikah ataupun anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Secara singkatnya kurang lebih seperti itu tentang pengakuan anak dalam hukum perdata maupun hukum Islam. Menurut hukum Islam status hukum anak temuan adalah manusia yang merdeka. Bagi yang menemukannya wajib memberikan nafkah, mendidik, dan memeliharanya (merawat), kedudukan hukum anak temuan sebagai anak angkat. Penetapan asal usul anak oleh Pengadilan mempunyai akibat hukum pertalian nasab dan hubungan keperdataan lainnya antara anak dan orang tuanya, sehingga antara anak dan orang tuanya ada hubungan mahram, wali nikah, saling mewarisi, kewajiban orang tua memberi nafkah, membiayai pendidikan anak, dan lain-lain,

Untuk bab selanjutnya membahas Masalah Hukum Tentang Harta Bersama, yang saya pahami tentang isi buku tersebut yaitu harta bersama dalam peraturan perundangan undangan. Membahas mengenai Pembuktian atas status harta demikian merupakan konsekwensi yuridis dari Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa, "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Untuk selanjutnya yaitu Harta bersama dalam hukum Islam mengkaji tentang Hukum Islam sendiri tidak dikenal adanya harta bersama, karena dalam hukum Islam tidak dikenal terjadinya percampuran kekayaan antara suami dan Istri, oleh karenanya harta suami sepenuhnya dikuasai oleh suami, demikian juga harta Istri sepenuhnya dikuasai oleh Istri.

Masih dalam pembahasan Masalah harta bersama tidak luput juga tentang masalah hukum harta bersama yaitu mengenai Kedudukan harta bersama setelah perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan. Berdasarkan Pasal 97 KHI apabila putus perkawinan karena perceraian maka harta bersama dibagi dua. Untuk pembagian harta bersama itu juga diatur dalam penjelasan dari Komplikasi Hukum Islam pasal 96 dan pasal 97 dapat dikatakan bahwa harta bersama atau harta Bersama ataupun syirkah dibagi sama rata atau seperdua bagian antara suami dan istri. Proses pembagian harta bersama dapat dilakukan secara kekeluargaan ataupun dengan bantuan pengadilan. Menurut hukum Islam. Hukum Islam sendiri tidak dikenal adanya harta bersama, karena dalam hukum Islam tidak dikenal terjadinya percampuran kekayaan antara suami dan Istri, oleh karenanya harta suami sepenuhnya dikuasai oleh suami, demikian juga harta Istri sepenuhnya dikuasai oleh Istri. Untuk pembagiannya Melihat penjelasan dari Komplikasi Hukum Islam pasal 96 dan pasal 97 dapat dikatakan bahwa harta bersama atau harta Bersama ataupun syirkah dibagi sama rata atau seperdua bagian antara suami dan istri. Proses pembagian harta bersama dapat dilakukan secara kekeluargaan ataupun dengan bantuan pengadilan.

Permasalahan dalam perdata Islam tidak luput dalam Beberapa Masalah Hukum tentang Hibah. Dalam buku ini mengkaji tentang rukun dan syarat sahnya Hibah. Menurut jumhur ulama' rukun hibah ada empat: yang pertama Wahib (Pemberi) Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain. Yang kedua Mauhub lah (Penerima) Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah. Yang ketiga Mauhub adalah barang yang di hibahkan.Dan yang terakhir Shighat (Ijab dan Qabul) Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul. Untuk syarat syarat hibah yaitu bagi penghibah sebagai berikut: Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan, Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan, Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya, Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya. Untuk penghibahan semua harta Seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya. Tetapi Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan.

Penarikan kembali hibah yang telah diberikan. Berdasarkan hukum islam penarikan kembali hibah yang telah diberikan penghibah kepada penerima hibah, terdapat dalam pasal 212 KHI "bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah dari orang tua terhadap anaknya". Hal ini diperkuat dengan pendapat jumhur ulama. Menurut Kompiasi Hukum Islam, Hibah adalah "pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki." (Psl.171. huruf g). Secara garis pokok, tidak ada perbedaan pengertian hibah menurut KHI dengan pengetian hibah menurut fiqh dan UU No.3 tahun 2006.

Untuk selanjutnya pembahasan beberapa masalah hukum tentang wasiat, dijelaskan mengenai dasar hukum wasiat ialah Hukum berwasiat adalah dibolehkan. Di antara sumber-sumber hukum wasiat adalah melalui dalil Al-Quran, Sunnah, amal para sahabat dan ijmak ulama. a. Nas-nas al-Quran Wasiat didasari dari firman Allah di dalam Al-Quran Surat Al- Baqarah ayat 180. Untuk masalah wasiat sendiri yaitu Dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa :

(1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali;

(2) pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan dengan dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris;

(3) bila wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris;

(4) apabila wasiat dilakukan dengan akta notaris, maka pencabutannya hanya dilakukan dengan akta notaris.

Syarat wasiat terdiri atas empat hal, yakni:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun