Penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunakan sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha. Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Sedangkan di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan.
Di kota besar, penggusuran kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan sosial antar tetangga dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait perlu dilakukan untuk mengindari adanya penggusuran. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penggusuran antara lain:
-Kebijakan pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi
-Peraturan pemerintah ataupun peraturan daerah tidak berpihak kepada rakyat miskin
-Tidak adanya koordinasi antar lembaga kepemerintahan
-Ketimpangan sosial yang cukup tinggi
-Sengketa lahan
-Aparat pemerintah yang semena-mena terhadap rakyat miskin
Belum lama ini (6 Februari 2018) kembali terjadi penggusuran terhadap warga yang dilakukan oleh pihak developer. Alih alih permukiman kumuh yang digusur, kali ini justru permukiman warga biasa yang terkena penggusuran. Penggusuran itu terjadi di Pulosari, Kelurahan Gunungsari, Dukuh Pakis, Surabaya.
Lagi lagi alasan terjadinya penggusuran dikarenakan sengketa tanah yang ditempati warga dengan pihak developer yang hendak membangun kawasan tersebut. Warga yang menjadi korban penggusuran memang mayoritas bukan warga asli Surabaya, akan tetapi mayoritas sudah mendapatkan KTP Surabaya.
Eksekusi sendiri dilakukan terhadap lahan seluas 142.433 m2 dan sebanyak 354 bangunan yang menjadi sasaran eksekusi, diperkirakan ada sebanyak 354 kepala keluarga yang mendiami kawasan tersebut. Sengketa yang terjadi antara warga Pulosari dengan PT Patra Jasa dimulai ketika pihak PT Patra Jasa mengklaim lahan seluas 142.000 m2 adalah milik mereka, dan lahan seluas 65.533 m2 ditempati oleh warga. Menurut Demianus, selaku kuasa hukum dari PT Patra Jasa mengatakan, "sejak Juni 2017 PT Patra Jasa telah melakukan sosialisasi sejak Juni 2017. Terkait keputusan itu kepada warga secara sukarela untuk segera meninggalkan lahan".
Akan tetapi menurut salah satu warga yang bernama Nurhuda, eksekusi tersebut adalah salah obyek, dikarenakan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) 434 milik PT Patra Jasa telah berakhir pada tahun 2006. "karena pihak Patra tidak bisa menunjukkan surat SHGB 434, karena SHGB-nya sudah tidak berlaku pada tahun 2006.
Kemudian 2013 mengajukan perpanjangan kepada Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan juga Surabaya satu, kemudian dikabulkan sebagian." Nurhuda menambahkan, "Cuma 7,6 hektar saja, sedangkan 6,5 kembali ke negara sehingga tanah ini milik negara. Mestinya yang melakukan eksekusi adalah pihak negara bukan pihak dari PT Patra Jasa".
Dalam hal pelaksanaan eksekusi penggusuran, pihak dari PT Patra Jasa mengacu pada surat Putusan Nomor 553/PDT/2014/PT Sb, Juncto Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 333/PDT.G/2013/PN.Sby yang menyatakan bahwa PT Patra Jasa sebagai pemegang hak sah atas lahan seluas 142.443 m2 yang terletak di Kelurahan Gunungsari, Kecamatan Dukuh Pakis, Surabaya dan warga yang tidak memiliki hak atas tanah tersebut untuk segera mengosongkan tanah milik PT Patra Jasa.
Dan begitu lah penggusuran tak dapat dihindari, warga hanya pasrah melihat pihak PT Patra Jasa yang melakukan proses pembongkaran terhadap rumah mereka menggunakan alat berat dan juga dikawal oleh anggota Polisi dan TNI. Setelah proses penggusuran selesai warga pun mendatangi pihak Pemkot Surabaya dengan harapan mereka bisa mendapat bantuan rusun yang dapat mereka gunakan sebagai tempat tinggal sementara.
Sengketa lahan, dua pihak sama sama mengklaim bahwa lahan tersebut adalah miliknya, sengketa pun terjadi dan akhirnya dibawa ke ranah hukum, putusan sidang keluar dan terjawablah siapa yang memenangkan sengketa atas lahan tersebut. Tak perlu kaget jika yang memenangkan sengketa lahan biasanya adalah pihak yang hendak memanfaatkan lahan tersebut, entah itu developer atau bahkan institusi pemerintah.
Sebelum memutuskan apakah putusan sidang selalu benar dan apakah setiap sengketa lahan itu warga selalu salah kita hendaknya menelisik terlebih dahulu mengenai sebenarnya milik siapa lahan tersebut. Seperti kita ketahui bersama terdapat beberapa macam hak atas tanah, yaitu antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain sebagainya.
Dalam kasus kawasan Pulosari yang mengalami penggusuran kita perlu merujuk terlebih dahulu sebenarnya siapa yang lebih dulu menempati lahan tersebut. Seperti yang dikatakan Nurhuda, PT Patra Jasa mengelola lahan tersebut dengan status hak guna bangunan yang memiliki jangka waktu tertentu.
Hak guna bangunan sendiri adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Jika dirunut dari pengertian diatas memang sepertinya pihak PT Patra Jasa yang lebih dulu menempati kawasan tersebut, akan tetapi juga perlu diperhatikan mengenai tenggat waktu berakhirnya hak guna bangunan yang mereka kuasai dikarenakan hak guna bangunan akan berakhir ketika tenggat waktu yang ditentukan juga berakhir.
Biasanya sebelum dilakukan eksekusi penggusuran, akan dilakukan mediasi terlebih dahulu antar kedua belah pihak yang bersengketa guna menghindari terjadinya konflik yang tidak diinginkan. Sebenarnya untuk menghindari konflik yang tidak diinginkan bisa dilakukan dengan manajemen konfik, yang mana merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpretasi. Bagi pihak luar (diluar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukan adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
Kembali pada studi kasus yang terjadi di Pulosari, Surabaya hendaknya prinsip manajemen konflik dilakukan terlebih dahulu untuk meminimalisir hal yang tidak diinginkan terjadi. Mulai dari tahap mediasi yang dilakukan oleh pihak ketiga, dimana pihak ketiga merupakan pihak yang netral dan tidak ada kepentingan dengan kedua belah pihak.
Jika memang keputusan akhirnya warga harus meninggalkan kawasan tersebut, perlakukan dengan sebagaimana mestinya dan hindari dengan sikap kekerasan. Arahkan mereka ke rusun yang sudah dikelola oleh Pemkot Surabaya sehingga dengan demikian kedua belah pihak tidak akan ada yang dirugikan dan konflik atau sengketa lahan dapat diminimalisir kejadiannya.
REFERENSI
-diakses 17 April 2018
-diakses 17 April 2018
-diakses 17 April 2018
https://www.youtube.com/watch?v=VV7RWrdiRkI
-diakses 17 April 2018
-diakses 17 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H