Asoka pun mulai menyusun peraturan dan kebijakan untuk mengembangkan kesejahteraan rakyatnya. Piagam Ashoka namanya. Piagam itu dipahat pada sebuah prasasti yang dikenang sebagai Prasasti Batu Kalingga No. XXII Raja Asoka.
Isinya menganjurkan umat manusia (terutama rakyatnya) untuk hidup selaras dengan ajaran Buddha, yaitu saling mengasihi, saling menghormati, dan penuh toleransi. Salah satu larik prasasti yang paling penting adalah perihal toleransi beragama. Asoka menyebut agama Buddha akan berkembang jika kita menghormati agama lainnya.
"Bila kita menghormati Agama kita sendiri, janganlah lalu mencemoohkan dan menghina agama lain. Seharusnya kita menghargai pula agama-agama lainnya. Dengan demikian agama kita akan berkembang. Di samping kita juga memberikan bantuan bagi agama agama-agama lainnya. Bila berbuat sebaliknya, berarti kita telah menggali liang kubur bagi agama kita sendiri. Di samping kita membuat celaka bagi agama lainnya."
"Siapa yang menghormati agamanya tetapi menghina agama-agama lainnya. Dengan pikiran bahwa dengan berbuat demikian, Ia merasa telah melakukan hal-hal yang baik bagi agamanya sendiri, Maka sebaliknya hal ini akan memberikan pukulan kepada agamanya dengan serius. Maka karena itu toleransi, kerukunan dan kerjasama sangat diharapkan sekali dengan. Jalan suka juga mendengarkan ajaran-ajaran agama lainnya, Di samping ajaran agamanya sendiri," pesannya dalam Piagam Asoka.
Wangsa Sailendra, Borobudur, dan Toleransi Agama
Semangat dari Piagam Asoka pun mendunia. Di Nusantara apalagi. Perwujudan sempurna dari semangat toleransi Piagam Asoka hadir dalam sebuah monumen megah yang didirikan penguasa Mataram Kuno, Sailendra, pada abad ke-8 Masehi.
Candi besar dan megah itu bernama Candi Borobudur. Candi yang berdiri di atas bukit, di dekat pertemuan antara dua sungai itu tak melulu menyiratkan makna bahwa Sailendra adalah penguasa kaya raya. Kehadiran Borobudur justru jadi potret besar adaptasi ajaran Buddha terkait toleransi agama.
Potret besar itu hadir dalam fragmen relief Karmawibhangga. Sebuah pahatan relief yang menggambarkan terkait hukum karma. Bahasa mudahnya, barang siapa yang menyebarkan kebaikan, maka kebaikan akan menyertai kehidupannya. Begitu pula sebaliknya.
Penggambaran tentang hukum karma itu menghadirkan relief dengan wujud berbagai tokoh agama, termasuk biksu, resi, dan pendeta Siwa. Kehadirannya tokoh agama di ragam relief Borobudur memberikan gambaran masa Wangsa Sailendra kehidupan toleransi beragama dijunjung tinggi, sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Asoka.