Toleransi bukan barang baru bagi umat Buddha di seantero negeri. Ajian untuk menghormati agama lainnya telah hadir sejak dulu kala. Kehadiran Piagam Asoka pada abad ke-3 Sebelum Masehi (SM) di India ada di baliknya.
Piagam Asoka menegaskan toleransi beragama adalah kunci kebesaran agama Buddha. Di Indonesia, wujud itu ditandai dengan hadirnya Wangsa Sailendra dan Candi Borobudur. Keduanya pun menjadi simbol kedewasaan umat Buddha untuk menghargai agama lainnya.
Tiada kata terlambat untuk perubahan. Itulah semangat yang kerap hadir kala menggambarkan sosok Raja Asoka dari Kekaisaran Maurya yang menguasai segenap daratan India pada abad ke-3 SM.
Ia awalnya dikenang sebagai pemimpin yang ambisius nan kejam. Ambisinya menggelegar. Semua itu sesuai namanya yang dalam bahasa Sanskerta Asoka berarti Tiada duka.
Asoka pun ingin menaklukkan seluruh kerajaan di India. Perang tak terhindarkan. Mayat dan darah sudah tak terhitung jumlahnya. Apalagi kala melawan Kerajaan Kalingga.
Ia tak peduli dengan kesedihan tiap kerajaan yang ditaklukkan. Sebab, satu-satunya yang Asoka pikirkan adalah kemenangan demi meluaskan kuasa. Nyatanya, kemenangan itu belakangan jadi 'bumerang' penyesalan bagi Asoka.Â
Ia tak kuasa lagi menyaksikan sendiri banyak orang yang terdampak dalam peperangan. Perebutan takhta dan kekuasaan mengharuskannya bermusuh dengan siapa saja. Mereka yang kalah kehilangan segalanya: harta, keluarga, hingga nyawa.
Ia mulai beranggapan bahwa perang justru membawa lebih banyak mudharat ketimbang manfaat. Asoka pun mencoba menebus kesalahannya dengan mengubah takdirnya. Dari penguasa kejam ke penguasa yang bijaksana dan penuh cinta kasih.
Ajaran Siddhartha Gautama (Buddha) jadi pilihan utamanya. Ia mulai mengamalkan ajaran cinta kasih Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Demi menunjang kehidupan yang jauh dari penderitaan dan mendekatkan kedamaian di muka bumi.
Alih-alih merindukan peperangan, Asoka memilih untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan tanpa kekerasan. Kemudian, semangat Asoka diadopsi banyak orang, terutama Sang Pembebas India, Mahatma Gandhi pada awal abad ke-20.Â
Asoka pun mulai menyusun peraturan dan kebijakan untuk mengembangkan kesejahteraan rakyatnya. Piagam Ashoka namanya. Piagam itu dipahat pada sebuah prasasti yang dikenang sebagai Prasasti Batu Kalingga No. XXII Raja Asoka.
Isinya menganjurkan umat manusia (terutama rakyatnya) untuk hidup selaras dengan ajaran Buddha, yaitu saling mengasihi, saling menghormati, dan penuh toleransi. Salah satu larik prasasti yang paling penting adalah perihal toleransi beragama. Asoka menyebut agama Buddha akan berkembang jika kita menghormati agama lainnya.
"Bila kita menghormati Agama kita sendiri, janganlah lalu mencemoohkan dan menghina agama lain. Seharusnya kita menghargai pula agama-agama lainnya. Dengan demikian agama kita akan berkembang. Di samping kita juga memberikan bantuan bagi agama agama-agama lainnya. Bila berbuat sebaliknya, berarti kita telah menggali liang kubur bagi agama kita sendiri. Di samping kita membuat celaka bagi agama lainnya."
"Siapa yang menghormati agamanya tetapi menghina agama-agama lainnya. Dengan pikiran bahwa dengan berbuat demikian, Ia merasa telah melakukan hal-hal yang baik bagi agamanya sendiri, Maka sebaliknya hal ini akan memberikan pukulan kepada agamanya dengan serius. Maka karena itu toleransi, kerukunan dan kerjasama sangat diharapkan sekali dengan. Jalan suka juga mendengarkan ajaran-ajaran agama lainnya, Di samping ajaran agamanya sendiri," pesannya dalam Piagam Asoka.
Wangsa Sailendra, Borobudur, dan Toleransi Agama
Semangat dari Piagam Asoka pun mendunia. Di Nusantara apalagi. Perwujudan sempurna dari semangat toleransi Piagam Asoka hadir dalam sebuah monumen megah yang didirikan penguasa Mataram Kuno, Sailendra, pada abad ke-8 Masehi.
Candi besar dan megah itu bernama Candi Borobudur. Candi yang berdiri di atas bukit, di dekat pertemuan antara dua sungai itu tak melulu menyiratkan makna bahwa Sailendra adalah penguasa kaya raya. Kehadiran Borobudur justru jadi potret besar adaptasi ajaran Buddha terkait toleransi agama.
Potret besar itu hadir dalam fragmen relief Karmawibhangga. Sebuah pahatan relief yang menggambarkan terkait hukum karma. Bahasa mudahnya, barang siapa yang menyebarkan kebaikan, maka kebaikan akan menyertai kehidupannya. Begitu pula sebaliknya.
Penggambaran tentang hukum karma itu menghadirkan relief dengan wujud berbagai tokoh agama, termasuk biksu, resi, dan pendeta Siwa. Kehadirannya tokoh agama di ragam relief Borobudur memberikan gambaran masa Wangsa Sailendra kehidupan toleransi beragama dijunjung tinggi, sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Asoka.
Lagi pula, dalam pembangunan candi monumental itu, segenap elemen masyarakat ikut bergabung membantu pembangunan. Narasi itu jadi bukti bahwa perbedaan agama bukan masalah besar. Penguasa kala itu membebaskan rakyatnya memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, bahkan difasilitasi.
"Perang agama jarang terjadi dalam sejarah pulau yang beruntung ini (baca: Nusantara), bahkan ketika Islam mulai masuk. Penjelasan yang lebih masuk akal atas peristiwa-peristiwa yang sedang kita bahas ini muncul dengan sendirinya kalau kita berasumsi bahwa keputusan menganut Buddhisme atau Siwaisme adalah urusan yang ditentukan para raja dan bahwa masuknya satu agama baru tidak menimbulkan perubahan mendasar dalam praktik pemujaan populer, walaupun mungkin ada tambahan unsur-unsur baru."
"Juga tidak ada tuntutan terhadap rakyat banyak untuk menganut ajaran Buddha atau secara eksklusif menyembah dewa-dewa Siwaisme. Penghormatan kepada keduanya pada waktu yang sama dianggap bukan hanya diperbolehkan tapi bahkan sangat dianjurkan. Pencapaian-pencapaian besar dianggap bukti kekuatan batin yang besar sehingga keberhasilan penguasa-penguasa asing dianggap berasal dari kekuatan gaib yang mereka peroleh dari dewa-dewa mereka," terang Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).
Orang-orang pun menyebut mahakarya Wangsa Sailendra Candi Borobudur sebagai wujud moderasi beragama. Bahkan, gema toleransi agama dari laku hidup Wangsa Sailendra dengan Candi Borobudurnya terus kesohor hingga hari ini.
Narasi itu terus didorong oleh Kementerian Agama (KEMENAG). Semua itu untuk menyebarkan nuansa kebersamaan dan keberagaman di Indonesia. Â
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud), Hilmar Farid mengamininya. Baginya, Candi Borobudur dapat memberikan gambaran bahwa masalah keyakinan (agama) tak pernah menimbulkan perpecahan di kalangan nenek moyang bangsa Indonesia.
Sikap toleransi dianggapnya sebagai kunci yang dapat menyatukan rakyat dan hidup damai, seperti yang dilakukan wangsa Sailendra. Farid juga menambahkan pada perkembangannya kehadiran Candi Borobudur bukan cuma monopoli kebudayaan agama Buddha semata. Namun, Borobudur telah menjadi simbol kebhinekaan Indonesia sesuai nafas Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi satu tujuan).
Semangat itulah yang seharusnya terus disebar; sebagai bukti kalau Indonesia mampu menjelma sebagai bangsa besar karena menghargai keberagaman. Oleh karena itu, narasi Piagam Asoka, Wangsa Sailendra, dan Candi Borobudur dapat membawa angin segar untuk keberagaman bangsa dan negara.
"Borobudur (kini) bisa dimanfaatkan ibadah oleh orang beragama Buddha. Padahal, Borobudur berada di tengah masyarakat beragama Islam. Borobudur telah berdiri selama 1.200 tahun dan terus dirawat dan dilestarikan. Yang hebat adalah masyarakat yang bisa menjaganya. Kita ini bagian dari masyarakat di tengah dunia yang terpecah belah", tutup Hilmar dalam Orasi Kebangsaannya dalam acara Perkemahan Wira Pramuka Ma'arif NU Nasional di Magelang, sebagaimana ditulis laman Kemendikbud, 21 September 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI