Kehebatan Lie Tjeng Hok mulai menjadi buah bibir. Banyak jago Betawi yang ingin menjajal kemampuannya. Lie Tjeng Hok kala itu masih berada di atas angin, alias tak terkalahkan. Namun, ada peraturan tak tertulis dalam jagat maen pukulan. Pihak yang menang harus bersedia menjadi guru dari pihak yang kalah. karena itu, Lie Tjeng Hok mulai mengajari dan mewarisi ilmunya kepada murid-murid yang mayoritas orang Betawi asli. Ki Marhalli, salah satunya.
Ilmu Lie Tjeng Hok diserap dengan baik oleh Ki Marhalli. Selain Beksi, Ki Marhalli mulai memadukan Beksi dengan ilmu maen pukulan lainnya, Trogtog atau troktok. Corak baru pun muncul. Setelahnya, mulai tersiar kabar kehebatan dari Ki Marhalli.
Narasi kehebatan Ki Marhalli dengan Beksinya sampai ke telinga Haji Godjali. Keduanya kemudian adu tanding. Ki Marhalli dengan Beksinya. Sedang Ki Godjali masih gaya maen pukulan Cingkrik. Singkat cerita Haji Godjali kalah. Ki Marhalli pun mengangkatnya sebagai murid.
Semua ilmu dari Ki Marhalli diserap oleh Haji Godjali dengan tekun. Setelah menguasainya, Haji Godjali mulai membawa Beksi ke kampung halamannya Petukangan, Jakarta Selatan. Tujuannya supaya banyak pemuda yang menjadi palang dada (pelindung) masyarakat dari ancaman luar seperti Belanda.
Di Petukangan, Haji Godjali mengajarkan Beksi kepada empat murid utamanya -- Haji Hasbullah, Simin, M. Nur, dan Mandor Minggu. Keempat murid itu lalu menjadi tokoh penting berkembangnya Beksi di seantero Jakarta. Coraknya boleh beda, tapi ajaran Beksinya sudah mulai memadukan seni Beksi dengan ajaran Islam yang toleran.
Beksi dan Agama
Silat Beksi dan agama Islam adalah dua hal yang tak bisa dilepaskan. Keduanya berjalan seirama. Silat Beksi yang dilapisi nilai-nilai religius Islam merupakan sebuah sarana untuk selalu mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta. Sebab, sebesar-besarnya tujuan belajar silat Beksi selain untuk medium pertahanan diri, juga untuk mendekatkan diri secara batiniah kepada Tuhan. Sekaligus jadi bukti Islam ramah tradisi.
Pimpinan Silat Beksi Kampung Setu Ciganjur, Rohmat S punya filosofi sendiri terkait kedekatan Beksi dengan agama. Ia mencontohkan kedekatan itu dengan mengucap filosofi sebilah golok. Baginya, golok bukan melulu alat tikam, melainkan dirinya menganggap golok sebagai sebuah senjata sakral yang tak boleh diperlihatkan, apalagi dimainkan secara sembarang di muka umum.
"Golok tidak hanya benda tajam biasa, karena jika diperhatikan, di dalam Golok terdapat pula sebuah keindahan serta filosofi yang dalam. Bagaimana tidak dalam setiap anatomi dari Golok terdapat suatu makna yang mendalam. Gagang Golok melambangkan pegangan hidup, Bilah Tajam diartikan sebagai simbol keberanian, serta sarung yang dimaknai dengan diselimuti oleh agama dan keyakinan," ucap pria yang akrab di sapa Bang Omat kala dihubungi penulis, 17 Desember.
Budayawan Betawi, Masykur Isnan mengamini hal itu. Tradisi islam seperti Rasulan, Tawasulan, dan doa-doa Islam dilanggengkan silat Beksi.