Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Masa Lalu: Cara Bijak Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian Covid-19

30 Juni 2020   09:58 Diperbarui: 30 Juni 2020   12:08 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hidup di masa pandemi/ unsplash: Jonathan Borba

Secara resmi, pandemi COVID-19 tercatat masuk Indonesia pada awal Maret. Tak sedikit yang ragu akan hal itu. Beberapa ahli memperkirakan virus telah masuk sebelum kasus 01 dan 02 di Depok, Jawa Barat. Namun, bagaimanapun, yang jelas kita sudah banyak melakukan kesalahan dalam langkah pencegahan. Kita gagal belajar, bahkan dari beberapa wabah terbesar yang pernah kita alami sebelumnya: cacar, kolera, pes, dan flu Spanyol.

Alhasil, masyarakat terlanjur dilanda oleh kepanikan besar. Beberapa di antaranya ada yang melakukan penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush), bertransaksi spekulasi sekedar mencari keuntungan pribadi, melakukan panic selling atau panic redeeming terhadap produk-produk investasi yang dimiliki, serta melakukan penimbunan barang-barang.

Yang mana, hal itu dapat merusak stabilitas keuangan sehingga membuat bahan stok barang menipis dan berharga mahal. Kendati demikian, kepanikan terus diperparah oleh adanya oknum-oknum yang menyebarkan informasi bohong. Alih-alih dapat meredakan kepanikan, justru menambah kepanikan karena dalam informasi yang tersebar disinyalir mengandung hoaks atau berita bohong.

Jika ditelusuri, Kepanikan diatas jelas bukanlah hal yang pertama dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Dahulu, kepanikan yang dikenal dengan istilah La Grande Peur (kepanikan besar), malah sudah muncul semenjak zaman kolonial. Bahkan, gejala kepanikan besar telah hadir pula di Benua Eropa sejak dulu.

'La Grande Peur' di Luar Negeri

Pada abad ke-19, kepanikan besar pernah terjadi di Prancis. Kala itu, kaum tani di Prancis sudah kelewat panik akan desas-desus gerombolan perampok yang akan menyerang mereka atas suruhan kaum bangsawan. Akibatnya, Para petani yang panik sesegera mungkin mempersenjatai diri, dan bersiap menghadapi datangnya serangan perampok.

Sayangnya, gerombolan perampok yang ditunggu tak kunjung datang. Para petani kemudian meluapkan amarahnya pada para bangsawan, dan situlah pemberontakan meledak.

Melihat fenomena ini, Sejarawan Prancis, Georges Lefebvre sempat mengungkap alasan pemberontakan selain disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik, ada faktor lainnya yang membuat kaum tani memberontak yaitu kepanikan besar.

"Untuk membuat petani bangkit dan memberontak, tidak perlu Revolusi Perancis, seperti yang banyak disarankan oleh sejarawan: ketika kepanikan datang, dia sudah naik dan pergi," Ucap Georges Lefebvre. (voi.id)

Menguatkan pendapat diatas, Andrew Hussey yang menulis buku berjudul Paris: Sejarah yang tersembunyi (2006), ia berujar "Walaupun kadang pemberontakan rakyat yang dipimpin petani sering kali tak memiliki fokus -- biasanya (pemberontakan) dipicu oleh rasa lapar dan kenaikkan pajak."

Wilayah Asia pun tak mau ketinggalan. Jepang yang dikenal sebagai negeri Matahari Terbit pun sempat merasakan kepanikan besar. Pada 1932, Jepang dilanda oleh gempa besar yang memakan korban sebanyak kurang lebih 120 ribu jiwa di Kanto.

Nahas, di tengah-tengah bencana sebuah kabar angin menyebar. Dalam kabar angin itu menyebutkan kaum minoritas Korea yang berada di wilayah tersebut memanfaatkan situasi untuk melakukan pembakaran, menjarah, dan meracuni sumur-sumur sumber air minum warga.

Saking paniknya, kabar angin dianggap fakta oleh surat kabar setempat. Puncaknya, prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang ikut-ikutan panas, lalu bergerak dengan bantuan polisi dan anggota ormas mereka membunuh orang korea yang berada di Kanto. Ada pun mereka yang mereka yang selamat, kemudian ditahan oleh otoritas terkait dengan tuduhan pemberontakan.

'La Grande Peur' di Indonesia

Tak mau kalah dengan Eropa dan Jepang, Indonesia memiliki sejarah panjang terkait kepanikan besar. Salah satunya terangkam dalam narasi pemberontakan orang Tionghoa pada 1740. Pemberontakan tersebut disinyalir terjadi karena perlakukan pemerintah kolonial Belanda yang mulai mencabut hak istimewa etnis Tionghoa di Batavia (Jakarta).

Singkat cerita, semua orang Tionghoa pengangguran yang kedapatan tak memiliki surat izin akan ditangkap lalu dideportasi ke Sri Lanka atau Afrika Selatan. Di sana, mereka akan dipekerjakan di perkebunan. Sayangnya, tersebar kabar angin di kalangan Tionghoa, bahwa secara diam-diam Kompeni membuang orang yang malang ke luar kapal di tengah lautan. Dan hal itu memancing amarah mereka yang memberontak.

"Kompeni punya catatan kegiatan buruk. Tetapi ia tentu saja tak pernah melakukan, bahkan membayangkan pun tidak kejahatan seperti itu. Tapi, ada orang Tionghoa yang jadi nekat. Sehingga kelompok bersenjata berkumpul di sekitar kota berencana bergabung dengan pemberontakan mereka. Tapi, kegelisahan penduduk Belanda bisa dibayangkan. Dan pemerintah dengan tepat memutuskan untuk memerintahkan pencarian senjata di semua orang Tionghoa," ujar Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Kelak, pemberontakan luar biasa terjadi. Namun, dalam beberapa hari pemberontakan lalu berubah menjadi peristiwa berdarah pembantaian sepuluh ribu lebih orang Tionghoa.

Aksi berdarah yang menyerupai genosida --pemusnahan etnis-- ini kemudian dikenal langgeng dengan istilah "chinezenmoord" atau pembunuhan orang Tionghoa. Meski begitu, orang-orang di Batavia umumnya mengenal peristiwa tersebut dengan sebutan "Geger Pacinan" atau "Tragedi Angke."

Setali dengan itu, khalayak dapat belajar bahwa atas ulah pemerintah kolonial Belanda yang terburu-buru mengambil keputusan menggelorakan pembantaian massal. Nyatanya, keputusan tersebut membuat mereka rugi bukan main.

Sebagaimana yang diungkap oleh Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 (1938). Selepas pembantaian, seluruh Batavia mengalami kekurangan semua barang, termasuk bahan pangan. Sampai-sampai dalam suatu waktu barang tersebut tak ada sama sekali.

Sekalipun pemerintah telah mencoba mengganti peran orang Tionghoa dengan penduduk lainnya, tetap saja perihal pemasukan VOC pun menurun drastis sampai beberapa tahun ke depan. "Absennya warga Tionghoa membuat masyarakat Batavia menderita karena kekurangan bahan pangan dan barang-barang kerajinan," tulisnya.

Pelajaran Berharga dari 'La Grande Peur'

Berdasarkan La Grande Peur di Dunia maupun Indonesia, kita dapat mempelajari bahwa kabar angin menjadi biang keladi dari kepanikan. Jika kepanikan besar tak dikurangi, maka akan menimbukan banyak biaya: menghabiskan energi pikiran, mehabiskan waktu, mengganggu kesehatan tubuh, dan mengganggu stabilitas keuangan negara.

Apalagi, mengingat COVID-19 yang masih mewabah menyerang orang tanpa pandang bulu. Saking parahnya COVID-19, krisis terjadi dimana-mana. Dalam perjalanannya krisis mulai menjalar ke pebisnis besar, hingga pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia.

Mau tak mau, keadaan ini akan mempengaruhi kondisi global dan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Indonesia. Boleh jadi, pemerintah melalui Bank Indonesia telah bersiasat memberikan sejumlah insentif kepada pengusaha dan UMKM supaya memberikan napas baru agar mereka bangkit dan bertahan.


Namun, untuk bertahan di tengah ketidakpastian dan menjaga SSK, tak melulu menjadi wewenang Bank Indonesia. Baik pemerintah maupun masyarakat harus bergerak bersama, bergotong royong demi membantu mewujudkan SSK yang sehat.

Sebab, persoalan seputar SSK menyangkut hajat Hidup orang banyak. Kiranya, guna mewujudkan SSK yang sehat, sebagai warga sipil kita dapat ikut membantu dengan mengadopsi empat perilaku cerdas berikut ini. Paling tidak hal ini dapat menjadi pedoman utama untuk terhindar dari krisis keuangan yang besar.

Pertama, jadilah agen penyebar konten positif. Perlu dipahami, benang merah ragam kepanikan besar di dunia sedari dulu ialah hadirnya kabar angin (yang sering kali membawa kabar bohong). Oleh sebab itu, supaya kepanikan tak terjadi, penting halnya untuk khalayak "saring sebelum sharing." Dalam artian, segala sesuatu yang bernuansa kepanikan dan belum tentu kebenarannya, jangan langsung disebar.

Lakukanlah cek dan ricek terlebih dahulu. Lalu, bandingkan dengan berita yang ada di media mainstream terpercaya. Setelahnya, baru timbang kandungan asas manfaat dari konten yang akan dibagikan. Jika tak memiliki manfaat, lebih baik urungkan niatan untuk berbagi. Jika memiliki manfaat, silahkan bagikan sembari menyebar semangat optimisme dalam melawan ketidakpastian.

Kedua, dukung UMKM. Dalam melanggengkan semangat optimisme melawan ketidakpastian, nilai-nilai luhur dari budaya gotong royong sangat diperlukan. Salah satunya dengan cara membantu para pelaku UMKM supaya bertahan di tengah mewabahnya virus dari Wuhan.

Beberapa di antaranya bisa dengan menyalurkan bantuan sosial kepada mereka dan membeli barang-barang yang dijual dengan harga pantas. Kalau pun memiliki dana yang terbatas, namun Anda tetap ingin membantu, maka bantulah promosi usaha mereka melalui media sosial yang dimiliki. Tak perlu jauh-jauh, cukup bantu UMKM yang ada di daerah sekitar tempat Anda tinggal saja.

Ketiga, tidak ikut panic buying. Kepanikan akan terjadi ketika semua orang panik kemudian buru-buru membeli segala macam kebutuhan dengan berlebihan. Alhasil, stok yang ada di pasaran menjadi habis.

Pahamilah, panic buying membuat orang lain menjadi tak dapat mengakses barang seperti hand sanitaizer, vitamin dan masker wajah. Itulah mengapa penting sekali untuk bijak dalam berbelanja, supaya semua orang menjadi kebagian. Seperti yang pernah diucap tokoh revolusioner India, Mahatma Gandhi: "Bumi ini cukup untuk tujuh generasi namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah." 

Keempat, berani ber-Vivere Pericoloso (Bahasa Italia: nyerempet-nyerempet bahaya). Cara terbaik melawan COVID-19 tak melulu menggunakan strategi mempertahankan keuangan pribadi. Melainkan, kita juga harus tetap mencoba melawan ketidakpastian dengan cara mencari lubang-lubang rejeki lainnya.

Peluang itu sangat terbuka lebar mengingat zaman sudah demikian dipermudah oleh teknologi dan kehadiran internet. Jadi, orang-orang bisa menggali peluang untuk memiliki side job (kerja sampingan). Entah itu, dengan mempertajam hobi memasak, menulis dan lain sebagainya. Hal itu harus diupayakan mengingat kita adalah bangsa yang berjuang seperti amanat dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno.

"Kita ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng? Kalau kita satu bangsa yang berjoang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-Vivere Pericoloso," ucap Bung Karno.

Pada akhirnya, itulah cara terbaik untuk dapat menjadi cerdas di tengah ketidakpastian. Selebihnya, khalayak harus tetap waspada akan mewabahnya COVID-19 dengan cara menerapkan jaga jarak fisik dan memakai masker ketika keluar rumah. Dengan begitu, bukan cuma optimisme saja yang dijaga, namun kesehatan keluarga di rumah juga ikut-ikutan terjaga. Jadi, jangan panik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun