Nahas, di tengah-tengah bencana sebuah kabar angin menyebar. Dalam kabar angin itu menyebutkan kaum minoritas Korea yang berada di wilayah tersebut memanfaatkan situasi untuk melakukan pembakaran, menjarah, dan meracuni sumur-sumur sumber air minum warga.
Saking paniknya, kabar angin dianggap fakta oleh surat kabar setempat. Puncaknya, prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang ikut-ikutan panas, lalu bergerak dengan bantuan polisi dan anggota ormas mereka membunuh orang korea yang berada di Kanto. Ada pun mereka yang mereka yang selamat, kemudian ditahan oleh otoritas terkait dengan tuduhan pemberontakan.
'La Grande Peur' di Indonesia
Tak mau kalah dengan Eropa dan Jepang, Indonesia memiliki sejarah panjang terkait kepanikan besar. Salah satunya terangkam dalam narasi pemberontakan orang Tionghoa pada 1740. Pemberontakan tersebut disinyalir terjadi karena perlakukan pemerintah kolonial Belanda yang mulai mencabut hak istimewa etnis Tionghoa di Batavia (Jakarta).
Singkat cerita, semua orang Tionghoa pengangguran yang kedapatan tak memiliki surat izin akan ditangkap lalu dideportasi ke Sri Lanka atau Afrika Selatan. Di sana, mereka akan dipekerjakan di perkebunan. Sayangnya, tersebar kabar angin di kalangan Tionghoa, bahwa secara diam-diam Kompeni membuang orang yang malang ke luar kapal di tengah lautan. Dan hal itu memancing amarah mereka yang memberontak.
"Kompeni punya catatan kegiatan buruk. Tetapi ia tentu saja tak pernah melakukan, bahkan membayangkan pun tidak kejahatan seperti itu. Tapi, ada orang Tionghoa yang jadi nekat. Sehingga kelompok bersenjata berkumpul di sekitar kota berencana bergabung dengan pemberontakan mereka. Tapi, kegelisahan penduduk Belanda bisa dibayangkan. Dan pemerintah dengan tepat memutuskan untuk memerintahkan pencarian senjata di semua orang Tionghoa," ujar Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).
Kelak, pemberontakan luar biasa terjadi. Namun, dalam beberapa hari pemberontakan lalu berubah menjadi peristiwa berdarah pembantaian sepuluh ribu lebih orang Tionghoa.
Aksi berdarah yang menyerupai genosida --pemusnahan etnis-- ini kemudian dikenal langgeng dengan istilah "chinezenmoord" atau pembunuhan orang Tionghoa. Meski begitu, orang-orang di Batavia umumnya mengenal peristiwa tersebut dengan sebutan "Geger Pacinan" atau "Tragedi Angke."
Setali dengan itu, khalayak dapat belajar bahwa atas ulah pemerintah kolonial Belanda yang terburu-buru mengambil keputusan menggelorakan pembantaian massal. Nyatanya, keputusan tersebut membuat mereka rugi bukan main.
Sebagaimana yang diungkap oleh Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 (1938). Selepas pembantaian, seluruh Batavia mengalami kekurangan semua barang, termasuk bahan pangan. Sampai-sampai dalam suatu waktu barang tersebut tak ada sama sekali.
Sekalipun pemerintah telah mencoba mengganti peran orang Tionghoa dengan penduduk lainnya, tetap saja perihal pemasukan VOC pun menurun drastis sampai beberapa tahun ke depan. "Absennya warga Tionghoa membuat masyarakat Batavia menderita karena kekurangan bahan pangan dan barang-barang kerajinan," tulisnya.