"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."
Â
Pukul tiga sore, teriknya masih terasa membakar. Menempuh jarak 17, 4 km menggunakan motor serasa menumbalkan diri hidup-hidup di pemanggang. Tumben, lalu lintas ramai lancar. Atau mungkin, sama saja seperti hari-hari biasa. Atau, apa mungkin yang macet justru ada dalam diri?
Hari ini aku membenci kemungkinan-kemungkinan yang muncul di kepalaku. Terbangun dengan kepala yang pusing, entah pusingnya bermula dari mana. Bertumpuk. Aku menunda membersihkan debu-debu itu, menanggalkan tumpukan berkas, menanggalkan seluruh harapan konyol sejak jauh-jauh hari itu. Aku berangkat masih dalam keadaan kepala yang pusing.
"Ceritaaa, O nama kamu Ceritaaa?"
"Nyebut 'a' nya ga usah kepanjangan. Namaku Cerita. Cara nyebutnya seolah-olah kamu lagi baca nama buah ceri tapi ditambahin 'ta' setelahnya. Ngerti?"
"Aneh juga ya, namamu".
"Unik, bukan aneh".
"Kamu defensif".
"Karena aku punya pendirian".