c. Modifikasi ciptaan adalah pengubahan atas ciptaan
Dalam hal pengaturan karya seni digital mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE sesuai dengan penegasan pada Undang-undang ITE Pasal 25. Maka dapat ditarik kesimpulan bentuk perlindungan karya seni digital NFT adalah melalui peraturan perundang-undangan Hak Cipta dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Perbuatan pelanggaran Twisted Vacancy terhadap karya seni milik Kendra Ahimsa dapat digolongkan sebagai mutilasi suatu ciptaan. sebab perbuatan mengambil unsur gambar gunung dan awan dari karya tersebut tanpa dimodifikasi sama sekali merupakan suatu proses menghilangkan sebagian besar unsur dari ciptaan tersebut. Mutilasi ciptaan muncul karena perbuatan pemotongan ciptaan yang tidak menghasilkan suatu ciptaan yang baru didalamnya.Â
Hak Ekonomi yang dapat diartikan sebagai hak eksploitasi sebab Undang-Undang hak cipta memberikan hak kepada pencipta atau pemegang hak dalam waktu tertentu untuk mengeksploitasi manfaat ekonomi atas ciptaannya. Dalam hal praktik yang dilakukan Twisted Vacancy untuk membuat karya seni NFT melalui metode slashing dan remixing, terdapat Hak Ekonomi pencipta yang karyanya digunakan sebagai bahan untuk bagian dari karya ciptaannya. Terdapat beberapa hak yang bersinggungan terhadap Hak Ekonomi Pencipta yang karyanya digunakan sebagai bagian dari pembuatan karya seni NFT. Yaitu Hak Reproduksi Ciptaan yang disebutkan pada Pasal 9 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Hak Cipta diantaranya terdiri atas Pengadaptasian, Pengaransemenan dan Pentransformasian Ciptaan. Dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap karya seni digital kita juga dapat mengacu pada Undang-Undang ITE Pasal 32 ayat (1) yang dalam kasus Twisted Vacancy dan Kendra Ahimsa perbuatannya dapat digolongkan sebagai dengan sengaja menambah, mengubah, atau mengurangi suatu informasi elektronik.Â
Peraturan yang melindungi karya seni pada era ekonomi digital di Indonesia saat ini belum cukup komperhensif. Negara telah menggunakan kekuasaannya untuk berusaha melindungi dan memenuhi hak--hak moral dan ekonomi dalam kegiatan ekonomi digital warga negaranya. Salah satu bentuk nyata perlindungan hak-hak tersebut diatur dalam ketentuan Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hanya saja formulasi pengaturan-pengaturan tersebut belum mampu melindungi hak-hak pencipta lebih jauh dan spesifik terhadap kejahatan - kejahatan baru yang tersusun secara sistematik dan dalam media digital.Â
B. Tindakan Hukum Terhadap Pelanggaran Karya Cipta Seni Dua Dimensi yang dijadikan Karya Non Fungible Token (NFT)
Kegiatan pada ruang cyberspace melalui media elektronik disamping memberikan manfaat dan kemudahan tetapi juga membuka akses untuk kejahatan jenis baru. Sehingga terobosan pengaturan hukum diperlukan agar dapat memberikan rasa aman bagi seniman atas karya seninya. Salah satu contoh kejahatan tersebut yaitu kejadian yang menimpa Kendra Ahimsa dimana karya seni dua dimensi miliknya telah di copy sebagian. Dalam usaha untuk melindungi perbuatan seperti demikian Undang-Undang Hak Cipta Pasal 55 ayat (1) mengatur bahwa "Setiap Orang yang mengetahui pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait melalui sistem elektronik untuk Penggunaan Secara Komersial dapat melaporkan kepada Menteri." Perlindungan terhadap hak-hak dari pencipta harus berpegangan pada asas yang dinamis terhadap perkembangan teknologi.Â
Tindakan hukum lain dalam menegakkan keadilan di bidang hak cipta dapat dilihat dari penyelesaian sengketa dalam Pasal 95 Undang-Undang Hak Cipta diantaranya melalui mediasi dan pengadilan. Kemudian dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 99 ayat (1) disebutkan "Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait memiliki hak untuk melakukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait." Sebagaimana tercantum pada Pasal tersebut pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan perdata yang meliputi gugatan ganti rugi, permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran, dan permohonan penyerahan seluruh atau sebagian dari pelanggaran.Â
Kemudian pada Pasal 99 ayat (4) kurang lebih menjelaskan bahwa pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara dari hakim untuk memerintahkan pelaku pelanggaran menghentikan segala hal kegiatan pelanggaran hak cipta supaya tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak cipta. Selain mediasi dan gugatan ganti rugi, pencipta juga dapat melakukan aduan atas kejahatan terhadap ciptaannya. Pada Era Ekonomi Digital dibutuhkan perumusan aturan perlindungan hak cipta yang lebih komperhensif, Hal ini akan lebih mendorong dan memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi ekonomi digital, yang merupakan suatu strategi kunci dalam ekonomi nasional Indonesia.
Kesimpulan:Â
Maka dari penjelasan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa:Â