Kebetulan saya memiliki putra yang memutuskan menjadi guru bimbingan belajar (bimbel) ditengah kesibukannya sebagai mahasiswa semester 3. Â Betapa terkaget-kaget dirinya ketika mengajari anak usia SMP tetapi anak tersebut kesulitan memahami perkalian sederhana! Â Notabene ini bagian dari matematika dasar. Â Tidak hanya itu, anak ini bahkan kesulitan mengerti soal. Â Artinya muridnya tersebut juga literasinya butuh perhatian serius. Â Bisa membaca, tetapi tidak mengerti isinya. Â Di lain waktu, putra saya juga mendapatkan murid SMA kelas 12. Â Kondisinya pun kurang lebihnya sama, bonus kurang percaya diri. Â Si anak memilih aman untuk PTN pilihannya nanti ketimbang memperjuangkannya.
Menariknya anak-anak ini berasal dari sekolah yang cukup punya nama. Â Sehingga menjadi keprihatinan dan banyak tanda tanya putra saya. Â Kebingungannya, bagaimana nanti bisa berharap mengerti fisika, sedangkan matematikanya saja masih blepotan. Â Selama ini mereka ini ngapain saja? Â Serta bagaimana pendidikan di negeri ini, dan bagaimana negeri ini nantinya? Â Belum lagi pertanyaan putra saya, kemana orang tua (ortu) mereka selama ini, atau tahu tidak ortunya. Â Jangan-jangan hanya ortunya yang khawatir, sedangkan anaknya tidak?
Sedikit kilas balik, putra saya adalah "korban" UN ditiadakan mendadak saat dirinya sudah di penghujung kelas 9. Â Padahal sejak di SMP kelas 7 dirinya sudah bersiap untuk berjuang di UN. Â Tujuannya adalah mendapatkan bangku di SMA terbaik. Â Persiapan dengan belajar sungguh yang sebenarnya sudah dimulainya sejak di SD. Â Kenapa demikian? Â Tidak lain karena mimpi merebut bangku salah satu top ten PTN di negeri ini.
Singkat cerita memang masa SMA dijalaninya dengan hambar. Â Tidak hanya putra saya, hal yang sama juga dirasakan teman-teman seangkatannya. Â Mereka seperti kehilangan amunisi dan berujung kebosanan. Â Menurut mereka, ini bukan masalah mendapatkan nilai. Â Melainkan kehilangan greget belajar karena tidak ada yang diperjuangkan dan tidak ada konsekuensi.
Jelas sangat berbeda dengan kondisi sekarang ini. Â Maka tidak habis pikir putra saya mencoba memahami kondisi pendidikan saat ini. Â Bukan karena apa yang tersaji di medsos. Â Tetapi buktinya nyata dari kebanyakan murid bimbingannya. Â Padahal mereka dari sekolah bergengsi sekalipun, dan secara ekonomi mapan. Â Buktinya, bisa mendaftar di bimbel. Â Terpikir tidak bagaimana dengan yang tidak? Â Begitupun "privilege" bisa bimbel tidak menjadikan lebih baik, cenderung hambar.
Bukankah kita tidak pernah tahu rasa manis tanpa mengenal pahit? Â Maka akhirnya, menurut saya tidaklah salah berkompetisi di bangku sekolah. Â Terlepas apakah itu UN, atau apapun judul yang diberikan oleh pemerintah untuk barometer pendidikan di negeri ini nantinya. Â Persiapkan diri dengan matang dan menikmati prosesnya. Â Jangan takut berkompetisi, seperti halnya jangan pernah takut gagal. Â Sebab dengan berkompetisi kita akan menemukan kualitas diri dan juga berinovasi.
Jakarta, 16 Desember 2024
Sumber:
https://kallainstitute.ac.id/rendahnya-minat-literasi-di-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H