Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaknai Kompetisi dalam Pendidikan

16 Desember 2024   19:46 Diperbarui: 16 Desember 2024   19:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.liputan6.com/

Tidak tepat rasanya mengartikan kompetisi sebagai persaingan negatif.  Terlebih di dunia pendidikan.  Sejatinya dengan kompetisi justru harapannya membantu mengidentifikasi dan menggali potensi peserta didik.  Sebab dengan berkompetisi anak dikenalkan kepada mimpi, sportifitas, rasa optimis dan juga kejujuran.

Kompetisi di bangku sekolah juga mengenalkan kepada interaksi dan kolaborasi.  Sehingga anak menyadari dirinya makhluk sosial yang harus mampu bekerjasama.  Serta siap bertahan di tengah persaingan dunia nantinya.  Sekaligus, mengenal arti keberhasilan dan kegagalan sebagai paket setiap individu di tengah kehidupan yang penuh persaingan.  Faktanya negara sekalipun tidak bisa lepas dari berlomba dan berusaha menjadi lebih baik.

Teringat kepada wacana kembalinya Ujian Negara (UN) dan diberlakukannya tinggal kelas kembali.  Jujur, setuju sekali!   Apa yang terjadi saat ini sudah sangat menggelisahkan!  Bagaimana tidak menggelisahkan melihat anak usia SMP tetapi mentah perkalian/ pembagian matematika sederhana!  Bukankah seharusnya ketika tamat SD sudah dikuasai?

Semakin memprihatinkan, bahkan anak usia SMA tidak bisa membedakan antara negara di Asia dan benua Eropa!  Belum lagi fakta banyak anak-anak sekarang ini tidak mengenal pahlawan nasional.  Ini menyedihkan sekali.  Tidak semata menyoal pendidikan.  Tetapi juga menyangkut masa depan bangsa.

Opini saya, sangat mungkin ini terjadi karena sudah mati gayanya pendidikan.  Anak kehilangan greget karena tidak ada yang dikejarnya.  Tidak ada yang harus diperjuangkannya.  Lebih tepatnya, mau bagaimanapun belajarnya pasti naik kelas.  Mau bagaimanapun pencapaiannya, pastilah lulus!   Soal nilai siapa peduli!  Artinya, anak-anak ini telah kehilangan daya juang dan mimpi dalam arti yang sesungguhnya.

Buktinya, ketika ditanyakan cita-citanya.  Kebanyakan menjawab tidak tahu.  Kalaupun ada, maka jawaban berjamaah yang sedang trend, "mau jadi konten kreator."  Padahal untuk menjadi konten kreator sekalipun tetaplah pendidikan menjadi kuncinya.

Pendidikan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia berkualitas dan mampu mendorong inovasi.  Kemudian, pendidikan juga sangat penting bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa.  Bagaimana kemajuan bangsa bisa berlangsung, jika kualitas pendidikan generasi penerusnya memprihatinkan.  Lalu bagaimana negeri ini bisa bersaing secara global ketika generasi penerusnya bahkan kehilangan jiwa kompetisi.

Ironis, berdasarkan refleksi hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, Indonesia berada di peringkat 68.  Kemudian secara global pendidikan Indonesia menempati urutan ke 57.  Serta catatan UNESCO, Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia.  Ini artinya minat baca di negara ini sangat rendah.  Maka tidaklah heran IQ rata-rata orang Indonesia adalah 78,49 atau urutan ke 130 dunia.  Padahal kita sudah berada di era digital dan dunia yang kompetitif.

Menghadirkan wajah pendidikan yang menyenangkan jelas sebuah keharusan.  Tetapi "mematikan" kompetisi tidaklah tepat.  Nantinya akan berujung pendidikan yang hambar.  Sejatinya pendidikan harus mampu menghidupkan rasa keinginan tahu anak, kreatifitas yang akhirnya membangun mimpi.  Mimpi yang berlomba oleh si anak untuk diwujudkan lewat kompetisi yang sportif dan menjunjung kejujuran.

Maka hakikatnya menyoal UN hanyalah sebuah judul atau nama.  Namun meniadakan UN seperti meniadakan barometer yang menjadi ukuran kemampuan anak dan kualitas pendidikan di negeri ini.  Demikian halnya juga dengan auto naik kelas.  Terbukti yang terjadi saat ini sebuah kenyataan pahit. Ini bukan narasi atau berdasarkan pemberitaan di media sosial (medsos) beberapa waktu lalu. 

Kebetulan saya memiliki putra yang memutuskan menjadi guru bimbingan belajar (bimbel) ditengah kesibukannya sebagai mahasiswa semester 3.  Betapa terkaget-kaget dirinya ketika mengajari anak usia SMP tetapi anak tersebut kesulitan memahami perkalian sederhana!  Notabene ini bagian dari matematika dasar.  Tidak hanya itu, anak ini bahkan kesulitan mengerti soal.  Artinya muridnya tersebut juga literasinya butuh perhatian serius.  Bisa membaca, tetapi tidak mengerti isinya.  Di lain waktu, putra saya juga mendapatkan murid SMA kelas 12.  Kondisinya pun kurang lebihnya sama, bonus kurang percaya diri.  Si anak memilih aman untuk PTN pilihannya nanti ketimbang memperjuangkannya.

Menariknya anak-anak ini berasal dari sekolah yang cukup punya nama.  Sehingga menjadi keprihatinan dan banyak tanda tanya putra saya.  Kebingungannya, bagaimana nanti bisa berharap mengerti fisika, sedangkan matematikanya saja masih blepotan.  Selama ini mereka ini ngapain saja?  Serta bagaimana pendidikan di negeri ini, dan bagaimana negeri ini nantinya?  Belum lagi pertanyaan putra saya, kemana orang tua (ortu) mereka selama ini, atau tahu tidak ortunya.  Jangan-jangan hanya ortunya yang khawatir, sedangkan anaknya tidak?

Sedikit kilas balik, putra saya adalah "korban" UN ditiadakan mendadak saat dirinya sudah di penghujung kelas 9.  Padahal sejak di SMP kelas 7 dirinya sudah bersiap untuk berjuang di UN.  Tujuannya adalah mendapatkan bangku di SMA terbaik.  Persiapan dengan belajar sungguh yang sebenarnya sudah dimulainya sejak di SD.  Kenapa demikian?  Tidak lain karena mimpi merebut bangku salah satu top ten PTN di negeri ini.

Singkat cerita memang masa SMA dijalaninya dengan hambar.  Tidak hanya putra saya, hal yang sama juga dirasakan teman-teman seangkatannya.  Mereka seperti kehilangan amunisi dan berujung kebosanan.  Menurut mereka, ini bukan masalah mendapatkan nilai.  Melainkan kehilangan greget belajar karena tidak ada yang diperjuangkan dan tidak ada konsekuensi.

Jelas sangat berbeda dengan kondisi sekarang ini.  Maka tidak habis pikir putra saya mencoba memahami kondisi pendidikan saat ini.  Bukan karena apa yang tersaji di medsos.  Tetapi buktinya nyata dari kebanyakan murid bimbingannya.  Padahal mereka dari sekolah bergengsi sekalipun, dan secara ekonomi mapan.  Buktinya, bisa mendaftar di bimbel.  Terpikir tidak bagaimana dengan yang tidak?  Begitupun "privilege" bisa bimbel tidak menjadikan lebih baik, cenderung hambar.

Bukankah kita tidak pernah tahu rasa manis tanpa mengenal pahit?  Maka akhirnya, menurut saya tidaklah salah berkompetisi di bangku sekolah.  Terlepas apakah itu UN, atau apapun judul yang diberikan oleh pemerintah untuk barometer pendidikan di negeri ini nantinya.  Persiapkan diri dengan matang dan menikmati prosesnya.  Jangan takut berkompetisi, seperti halnya jangan pernah takut gagal.  Sebab dengan berkompetisi kita akan menemukan kualitas diri dan juga berinovasi.

Jakarta, 16 Desember 2024

Sumber:

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7450031/10-negara-dengan-rata-rata-iq-tertinggi-di-asia-ada-indonesia

https://kallainstitute.ac.id/rendahnya-minat-literasi-di-indonesia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun