Pandemi memaksa bermigrasinya aktivitas dari interaksi secara fisik menjadi media komunikasi daring. Sehingga tidak heran jika ini jadi pemicu meningkatnya paparan konten negatif pengguna internet.
Ini terlihat dari angka yang cukup mengkhawatirkan. Per September 2021 saja Johnny Plate Menteri Komunikasi dan Informatika telah menghapus sebanyak 24.531 konten negatif.
Mungkin untuk sesaat ini solusi jitu. Meskipun, sejauh ini sensor dan blokir kurang efektif menangkis sebaran konten negatif di dunia maya. Di sinilah pentingnya literasi digital berjalan parallel untuk memberikan edukasi "ancaman" mengintai di dunia maya.
Kita tahu, dunia maya adalah dunia tanpa batas. Bukan hanya ruang dan waktu yang tak terbatas, tetapi juga penggunanya. Siapa saja bisa berselancar di dunia maya, bahkan dari segala lapisan umur juga bisa.Â
Mengerikannya, ini tidak disadari kebanyakan warganet. Padahal, penting sekali menumbuhkan kesadaran bersama menghadirkan internet menjadi tempat yang aman dan ramah bagi semua orang.
"Sebanyak 214 kasus konten pornografi anak, 22.103 kasus konten terkait terorisme, 1.895 kasus konten misinformasi Covid-19, serta 319 konten misinformasi vaksin Covid-19," ujar Johnny, Minggu (19/9).
Ambil contoh resiko pelaksanaan belajar dari rumah secara daring. Secara logika, ancaman konten negatif jelas mengintai.Â
Lalu, apakah ini tanggungjawab mutlak Kominfo? Bukankah harusnya peran penting pengawasan orang tua juga menentukan? Artinya, kedua belah pihak haruslah saling mendukung.
Sekarang bayangan, beberapa waktu lalu siapa menyangka sempat ada konten iklan yang diduga bernuansa LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di iklan Youtube kids pada acara anak-anak di Indonesia. Tetapi berkat keluhan masyarakat, konten ini berhasil diputus oleh Kominfo.Â
Betapa mengerikannya jika masyarakat tidak peka dan menyerahkan semua hanya kepada Kominfo sebagai "polisi" dunia maya.
Meskipun untuk kondisi seperti ini sebenarnya bisa diantisipasi dengan memanfaatkan fitur safety mode. Fitur yang memungkinkan anak berselancar di dunia maya secara aman. Sekaligus mencegah kemungkinan anak mengunjungi konten pornografi. Kembali lagi, kecakapan literasi digital berperan.
Tetapi isunya bukan pornografi. Pornografi hanya sekian dari ancaman kejamnya dunia maya, selain teroris, hoaks, dan isu pemecah belah bangsa.
Intinya, konten negatif selain merusak generasi, juga mempengaruhi serta menghalangi masyarakat untuk mengambil keputusan yang tepat berdasarkan sumber informasi yang benar.
Mencontoh kepada "hoaks" Covid, vaksin dan isu "gagal paham" aplikasi PeduliLindungi. Lanjut tak kalah ngerinya, konten SARA yang rentan memicu konflik.
Jelas blokir dan sensor hanya jadi kejar-kejaran. Ibaratnya mati satu, akan tumbuh seribu. Sementara pikiran dan pemahaman yang bersalahan akan sangat cepat menyebar bak virus. Belum lagi, siapa yang bisa mencegah informasi ini tidak "meracuni" dan menyebar dengan cepat di WA Group?
Di sinilah kesadaran dan kedewasaan warga dunia maya harus ditumbuhkan. Bagaimana caranya, adalah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Membuat masyarakat melek digital alias sadar pentingnya literasi digital.Â
Harapannya, ini akan mengedukasi pengguna internet bersikap bijak. Bijak menggunakan gawai sesuai batasan yang ada, bijak mengakses konten sesuai umur, dan bijak menggunakan sosial media.
Tantangan yang tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan Kominfo sendiri melakukan tiga pendekatan yakni di tingkat hulu, menengah dan hilir, yaitu:
- Tingkat hulu bekerja sama dengan 10 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat (LSM). Mendidik masyarakat menghentikan penyembaran konten negatif yang menyesatkan. Serta membiasakan menyebarkan informasi yang akurat dan positif.
- Tingkat menengah adalah langkah preventif dengan bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan platform media sosial. Kominfo menghapus akses konten negatif yang diunggah ke situs web atau platform digital.
- Tingkat hilir bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengambil tindakan yang tepat "sanksi hukum" dalam mencegah penyebaran informasi yang salah dan menyesatkan di ruang digital.
Seharusnya menjaga dimulai dari diri kita, alias dari dari hulu. Kitalah yang menentukan atau jeli menimbang, dan memutuskan baik atau buruknya setiap konten. Apakah konten tersebut akan disebar, atau hanya berhenti di kita.Â
Menyadari, apakah konten tersebut mendidik, produktif dan bersifat membangun, ataukah sebaliknya hanya untuk membuat gaduh.
Tanggungjawab ini harusnya tumbuh di setiap kita. Sehingga peran blokir dan sensor pun tidak harus menunggu Kominfo, tetapi bisa diawali dari kedewasaan kita sendiri.
Dunia maya dan aktivitas daring seharusnya kesempatan mengeksplorasi diri menjadi lebih berkualitas. Ada banyak konten berkualitas yang bisa menjadi "sekolah" tempat belajar hal baru, dan menjadi peluang usaha.
Ketimbang menyebarkan konten negatif, kenapa tidak mencoba membangun kualitas diri. Seharusnya cara berpikir seperti inilah yang dimiliki, seiring berkembangnya ruang digital.
Setuju dengan Johnny Plate, pandemi memicu masifnya penggunaan tekonlogi karena kini semua bisa dilakukan daring.Â
Sehingga. menurutku, ibaratnya pisau bisa dipakai untuk memotong, tetapi juga menikam. Demikian juga teknologi, bisa digunakan untuk maju, ataupun terhenti langkah karena kita yang tidak bijak menggunakan ruang digital.Â
Jakarta, 23 September 2021
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H