Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adu Mata dengan Pencopet

29 Juni 2021   22:42 Diperbarui: 29 Juni 2021   22:59 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.askara.co/

Judul di atas satu dari sekian pengalamanku nyaris terkena aksi kejahatan.  Pengalaman ngeri sedap tapi kalau diingat sekarang jadi kenangan manis yang maaf tidak untuk diulang.  Heheheh...

Diawali pengalaman pertama ketika pulang kerja dan harus naik bis kota.  Zaman itu belum ada Trans Jakarta seperti sekarang yang lebih nyaman dan sedikit lebih tertib.  Di zaman itu naik bis kota identik dengan senggol-senggolan.

Jujurnya aku males banget didorong sana sini yang ujungnya jadi berada ditengah dan bikin susah keluar nantinya.  Belum lagi baju ngantorku dijamin lusuh. Serta aroma menyengat yang membuat harum parfumku pun kalah bersaing.  Tetapi, rasa iseng dan males balik kantor mengalahkan semuanya.  Bersama seorang teman, sepulang dari mengurus KITAS (Kartu Izin Menetap Sementara) Pak Boss ekspat, kami memilih bis ketimbang taxi.

Kejadian deh senggol kiri dan kanan, bahkan depan belakang.  Demi memastikan tidak jatuh, maka tangan kiriku berpenggangan dengan tiang besi bis, sedang yang kanan memegang sandaran kursi.  Aku pun yang tadinya bersama teman, justru sekarang entah dimana teman itu.  Sedang clingak-clinguk mencari dia, tiba-tiba mataku menangkap ada tangan asing yang sedang berusaha mempreteli jam tanganku.  "Gokill....ngapain ini orang," batinku kesel.

Otakku langsung jalan, dan mengamankan tas kerja serta meletakannya didepan dan aku dekap.  Badan jelas makin terhuyung-huyung karena praktis hanya mengandalkan tangan yang memegang tiang besi.  Tetapi, mataku segera mencari siapa pemilik tangan gelap itu, dan hoppp....aku menemukannya!  Mata bertemu mata, tetapi dia cuek saja.

Ngegilainya tangannya itu kalap mencoba mempreteli jam tanganku.  Sulit pastinya karena kondisi bis tidak stabil, ditambah desakan penumpang lainnya. Mirisnya penumpang yang berada di dekatku cuek bebek tidak peduli melihat aksi otw mencopet tersebut.

Aku berpikir, ngapain juga minta tolong orang di dekatku.  Aku juga tidak mau konyol teriak copet, bukan tidak mungkin orang di sekitarku ini rombongannya. Maka dengan modal keberanian tersisa, aku pun memegang tangan si pencopet yang sedang mencoba melepas jam tanganku.  Tangan tersentak kaget karena gantian aku yang memegangnya.

Aku lepas pegangan tangan kiriku dari besi dan menurunkan tanganku.  Yup, praktis kali ini aku tidak berpegang pada apapun terhuyung-huyung diantara desakan orang.  Berusaha seimbang sambil melepas jam tangan, memasukkan ke tas dan memegang erat tas milikku.  Persis di halte berikutnya aku pun turun, dan segera menghentikan taxi yang lewat.  Meninggalkan temanku yang masih berada di dalam bis sendirian.

Lanjut pengalaman kedua yang juga ngeri sedap, tetapi kali ini ketika naik mikrolet.  Selalu mengikuti anjuran banyak orang untuk memilih duduk bersama di depan atau di belakang pak supir.  Konon katanya kalau di belakang mudah membisikkan pak supir jika ada ulah jahat pencopet.  Tetapi ternyata tidak semudah itu ketika kita berada pada kejadiannya.

Ketika itu aku sedang dalam perjalanan pulang, dan seperti biasa memilih duduk di belakang supir.  Selain menurutku aman, juga bisa mendapat angin.  Di dalam mikrolet sudah ada 3 penumpang lainnya, jadi dengan diriku total ada 4 orang.

Lalu di sebuah penghentian masuk 2 orang, dan tidak beberapa lama masuk 1 orang lainnya lagi.  Anehnya sejak kedatangan 2 orang ini kondisi mikrolet jadi ramai dengan percakapan mereka.  Dua penumpang saling bertanya penuh keraguan, dan dibantu jawab oleh yang satu penumpang yang terakhir masuk tadi. Kondisinya seolah penumpang yang satu ini menjelaskan kepada kedua penumpang yang baru masuk sebelumnya.  Ketiganya jadi terlihat ramai sendiri diantara kami.

Merasa aneh dan tidak nyaman, bukan tidak mungkin nantinya percakapan jadi dilempar ke satu diantara penumpang lainnya.  Kemudian ujung-ujungnya terhipnotis, begitu pikirku was-was.

Maka, aku pun memilih untuk berhenti sajalah di tengah perjalanan.  Lebih baik ganti mikrolet, ketimbang mengacuhkan suara hati yang tidak merasa nyaman lagi ini.  Bukan berburuk sangka, sebab modus seperti ini memang sering terjadi.  Kita dipancing oleh percakapan, dan akhirnya menjadi lengah.

Ehhhmmm...ngeri sedap memang tinggal di kota Jakarta.  Jamak dan tidak perlu heran sebab kejahatan seperti ini nyaris terjadi di banyak kota besar.

Kejadian ketiga mengerikan lainnya adalah ketika aku berkantor di daerah Jakarta Utara.  Waktu itu belum zamannya online, dan memanggil taxi lama sekali karena jam sibuk pulang kantor.  Akhirnya, aku memutuskan naik bajaj menuju salah satu pertokoan di dekat Grogol.  Pikirku mampir dulu ke sana mumpung weekend, dan dari sana baru pulang naik taxi.

Serius ini bikin sport jantung karena di bawah jembatan Grogol kondisi jalanan macet.  Lalu si bapak bajaj berbisik mengingatkanku untuk melepas jam tangan, cincin, mematikan gadget dan mendudukkinya.  Nadanya yang terdengar tegas membuatku patuh seketika, tapi ngeri.

Tidak beberapa lama datang seorang preman menghampiri bajaj.  "Mana jatah?" Suara si preman ke arah pak bajaj, tapi mata tajamnya melirik ke arahku.

"Baru keluar boss, baru sekali putar.  Nantilah, sekali lagi boss," Jawab pak bajaj mencoba akrab.

"Weeiitt...tajam betul tuh mata.  Jangan diganggu boss, ini saudara aye.  Bisa habis nanti aye sama bapaknya.  Soal jatah, nanti aye kasih, sekali putar lagi.  Tapi jangan ganggu ponakkan aye boss.  Biar kate kondisinya lumayanan dari aye, tapi ini hitungannya masih ponakkan boss.  Bisa ribet urusannya nanti."  Kata pak bajaj berusaha menyelamatkanku.  Sementara aku mencoba duduk tenang, rapat menyembunyikan beberapa barang.

Jantungku berdegub kencang, dan rasanya tulang-tulang mau rontok semua karena ketakutan.  Bayangkan penampilan preman itu begitu mengerikan, dan waktu itu sudah cukup gelap di bawah terowongan.

Puji Tuhan, berkat kebaikan pak bajaj kami dibiarkannya jalan.  Aku pun setiba di mall, memilih langsung pulang dengan taxi.  Batal, bablas rencanaku ngemall menghabiskan weekend.  Nyaliku sudah habis di bawah terowongan tadi.

Begitulah cerita nyata pengalamanku lolos dari kejahatan hidup di kota besar Jakarta.  Pengalaman yang menyeramkan, tetapi menjadi guru berharga.

Aku sendiri dengan posisiku ketika itu sebenarnya memiliki fasilitas pergi dan pulang dengan taxi ditanggung perusahaan.  Hanya saja terkadang ulah isengku membuatku kena getah sendiri.  Tetapi pengalaman pentingnya, ketika kita menggunakan kendaraan umum mutlak dibutuhkan kesiagaan.  Selain juga perhatikan agar penampilan tidak mencolok.

Saran lainnya lagi adalah tetap fokus, dan jangan biarkan pikiran kosong.  Sebab inilah yang membuat kita bisa terhipnotis.  Selalu dan selalu pikiran ini bekerja ketika kita sedang di jalan, misalnya kita bernyanyi-nyanyi kecil.  Kemudian kita juga harus berpikir dan siaga apakah disekitar kita ada yang aneh atau tidak. Begitu merasa ada kejanggalan dan ketidaknyamanan maka segera ambil keputusan berhenti, turun dan ganti kendaraan.

Terpenting mungkin adalah berani dan jangan panik.  Berani disini bukan sok jagoan teriak copet misalnya.  Lihat kondisi juga, sebab bukan tidak mungkin justru nantinya cerita jadi lebih runyam.

Copet zaman sekarang tidak lagi sendirian.  Mereka selalu berkelompok dengan pembagian tugasnya masing-masing.  Sehingga bijak-bijaknya kita menyingkapi kondisi ketika terposisikan pada kejadian ini.  Cobalah untuk tidak panik sebisanya, sehingga keputusan kita tidak salah.

Semoga pengalaman ini berguna, dan membuat kita semakin hati-hati.  Percayalah, semakin kita hati-hati, maka semakin cerdas dan kreatif juga pencopet.  Ini artinya, kita tidak boleh dan jangan pernah cukup dengan hati-hati saja.  Sebab kejahatan akan selalu ada di setiap kesempatan.

Jakarta, 29 Juni 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun