Lalu di sebuah penghentian masuk 2 orang, dan tidak beberapa lama masuk 1 orang lainnya lagi. Â Anehnya sejak kedatangan 2 orang ini kondisi mikrolet jadi ramai dengan percakapan mereka. Â Dua penumpang saling bertanya penuh keraguan, dan dibantu jawab oleh yang satu penumpang yang terakhir masuk tadi. Kondisinya seolah penumpang yang satu ini menjelaskan kepada kedua penumpang yang baru masuk sebelumnya. Â Ketiganya jadi terlihat ramai sendiri diantara kami.
Merasa aneh dan tidak nyaman, bukan tidak mungkin nantinya percakapan jadi dilempar ke satu diantara penumpang lainnya. Â Kemudian ujung-ujungnya terhipnotis, begitu pikirku was-was.
Maka, aku pun memilih untuk berhenti sajalah di tengah perjalanan. Â Lebih baik ganti mikrolet, ketimbang mengacuhkan suara hati yang tidak merasa nyaman lagi ini. Â Bukan berburuk sangka, sebab modus seperti ini memang sering terjadi. Â Kita dipancing oleh percakapan, dan akhirnya menjadi lengah.
Ehhhmmm...ngeri sedap memang tinggal di kota Jakarta. Â Jamak dan tidak perlu heran sebab kejahatan seperti ini nyaris terjadi di banyak kota besar.
Kejadian ketiga mengerikan lainnya adalah ketika aku berkantor di daerah Jakarta Utara. Â Waktu itu belum zamannya online, dan memanggil taxi lama sekali karena jam sibuk pulang kantor. Â Akhirnya, aku memutuskan naik bajaj menuju salah satu pertokoan di dekat Grogol. Â Pikirku mampir dulu ke sana mumpung weekend, dan dari sana baru pulang naik taxi.
Serius ini bikin sport jantung karena di bawah jembatan Grogol kondisi jalanan macet. Â Lalu si bapak bajaj berbisik mengingatkanku untuk melepas jam tangan, cincin, mematikan gadget dan mendudukkinya. Â Nadanya yang terdengar tegas membuatku patuh seketika, tapi ngeri.
Tidak beberapa lama datang seorang preman menghampiri bajaj. Â "Mana jatah?" Suara si preman ke arah pak bajaj, tapi mata tajamnya melirik ke arahku.
"Baru keluar boss, baru sekali putar. Â Nantilah, sekali lagi boss," Jawab pak bajaj mencoba akrab.
"Weeiitt...tajam betul tuh mata. Â Jangan diganggu boss, ini saudara aye. Â Bisa habis nanti aye sama bapaknya. Â Soal jatah, nanti aye kasih, sekali putar lagi. Â Tapi jangan ganggu ponakkan aye boss. Â Biar kate kondisinya lumayanan dari aye, tapi ini hitungannya masih ponakkan boss. Â Bisa ribet urusannya nanti." Â Kata pak bajaj berusaha menyelamatkanku. Â Sementara aku mencoba duduk tenang, rapat menyembunyikan beberapa barang.
Jantungku berdegub kencang, dan rasanya tulang-tulang mau rontok semua karena ketakutan. Â Bayangkan penampilan preman itu begitu mengerikan, dan waktu itu sudah cukup gelap di bawah terowongan.
Puji Tuhan, berkat kebaikan pak bajaj kami dibiarkannya jalan. Â Aku pun setiba di mall, memilih langsung pulang dengan taxi. Â Batal, bablas rencanaku ngemall menghabiskan weekend. Â Nyaliku sudah habis di bawah terowongan tadi.