"Selamat Hari Natal Dinda, jangan telat bergereja," pagi itu sebuah pesan ucapan natal pertama datang dari Bayu. Â Bukan pertama kali, tetapi setiap natal selalu Bayu orang pertama yang mengucapkan dan mengingatkannya untuk beribadah.
Tiga tahun memang kebersamaan Dinda dan Bayu. Â Keduanya mencoba berjalan bersama meski perbedaan keyakinan itu sudah diketahui dari awal. Â Mencoba untuk saling menghormati, atas nama cinta. Â Pertanyaannya, kemana hubungan ini akan dibawa.
Khotbah natal kali ini menyentuh hati Dinda. Â Bangku-bangku kosong karena pandemi menyadarkan Dinda, betapa dirinya beruntung masih boleh datang ke rumah Tuhan. Â Dia yang rela mati, disalibkan untuk menebus dosa manusia. Â Dia yang mencintai melebihi diriNya sendiri, hingga nyawaNya diberikan untuk manusia? Betapa kecil dan piciknya aku mengartikan cinta selama ini. Â Aku yang mencintai Bayu untuk diriku sendiri, dan mencoba berjalan tetapi tidak tahu kemana tujuan cinta kami berujung.
Di bangku gereja itu Dinda berbicara pada hatinya. Â Serasa ditelanjangi apa yang sudah diberinya untuk Dia. Â Ketakutan kehilangan hanya karena dirinya takut terluka. Â Nyatanya aku dan Bayu saling melukai selama ini. Â Kembali Dinda menghukum dirinya. Â "Aku harus bicara malam nanti" bisik Dinda pada dirinya.
"Din...ada Bayu di depan," suara mama memanggil. Â Sayup Dinda mendengar tawa Bayu dan keluarganya di teras. Â Bayu memang diterima kehadirannya oleh keluarga, tetapi kemana hubungan mereka jika tak berujung.
Bertekad Dinda memilih jujur, dan di teras itu kali ini natal menjadi berat bagi Dinda. Â Pastinya tidak seberat salib Yesus. Â Tetapi 3 tahun sudah Dinda lari dari kenyataan, dan ini harus diakhiri.
"Heiii....natal kok manyun aja Din," suara Bayu seperti godam di kepala Dinda
"Aku mau ngomong," cepat Dinda menjawab tetapi tidak sanggup matanya menatap Bayu. Â Bahkan angin seperti berhenti berhembus sehingga suaranya terdengar nyaring seketika.
"Aku tahu, bicara saja Din. Â Kamu tahu, aku mencintaimu untuk membuatmu bahagia. Â Tiga tahun kita selalu bicarakan hal ini. Â Tiga tahun juga kita tidak bisa menjawab, apakah kita saling mencinta atau melukai." Â Suara Bayu terasa belati yang menusuk hati, sehingga airmata Dinda jatuh deras tanpa bisa ditahannya lagi. Â Mulutnya terkunci rapat, tak sanggup bicara.
"Din, melihatmu setiap malam natal merindukan gereja, itu menyakitiku. Â Bukan karena dirimu beribadah, tetapi karena diriku. Â Aku memang mencintaimu, tetapi aku tidak mau melihatmu terluka. Â Beban berat yang sama aku rasakan setiap natal tiba Din. Â Menghukummu karena mencintai aku, itu tidak benar Dinda. Â Aku mencintaimu bukan untuk diriku, tetapi untuk kita."
Seperti kemarin, malam itu di langit hanya ada satu bintang terang disana. Â Jantung Dinda berdetak kencang, bercampur suara Bayu lelaki yang dicintanya.