Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Si Gagu, Orang Memanggilnya

3 Desember 2020   00:39 Diperbarui: 3 Desember 2020   00:44 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak jauh dari rumah ada sebuah toko kelontong yang menjual segala kebutuhan sehari-hari.  Sejak aku kecil toko itu sudah ada.  Sampai sekarang aku mempunyai 2 anak pun, toko itu masih ada, dan masih sama seperti dulu.

Berbeda dari toko lainnya, di toko ini ada si Gagu begitu orang memanggilnya.  Tidak bermaksud menghina, sejak kecil aku memilih memanggilnya dengan sebutan Ibu Gagu.  Iya, tidak ada yang tahu nama sebenarnya siapa, karena ibu ini juga buta huruf.  Tetapi sebutan ibu menurutku lebih sopan.

Pemilik toko kelontong juga mengenalnya tidak sengaja.  Ibu Gagu datang ke toko tersebut dan dengan bahasa isyarat meminta pekerjaan.  Itulah awal ceritanya Ibu Gagu bekerja di toko tersebut.

Ibu Gagu tugasnya membawa pesanan gas, galon atau apa saja ke setiap rumah pelanggan dengan menggunakan gas trolley.  Hanya mengantarkannya saja, tidak mengangkat pesanan pelanggannya.  

Sewaktu bapakku masih ada, setiap kali si ibu datang membawa pesanan kami maka bapak akan sibuk menyiapkan beberapa lembar uang Rp 10 ribu.  Jika galonnya 2 maka, si Gagu diberikan 2 lembar Rp 10 ribu, dan jika 3 maka 3 lembar.

Satu yang sangat mengesankan dari ibu ini adalah pembawaannya yang periang.  Setiap ke rumah kami selalu wajahnya itu riang sekali.  Menggunakan bahasa isyarat yang (maaf) aah..uuu..ahh..dan kode tangan si ibu berusaha menyampaikan sesuatu kepada kami.  Selalu ada cerita kepada kami.  Padahal sulit untuk kami memahami ibu ini bicara apa.

Percaya tidak percaya, satu waktu ketika dilihatnya aku menggendong putri pertamaku, dia bahkan ikutan senang.  Iya, sore itu kebetulan Ibu Gagu mengantarkan pesanan kami.  

Dilihatnya aku di teras menggendong putriku.  Lalu dia berlari menghampiri sambil tersenyum senang sekali.  Seperti ingin mengelus putriku, tetapi ragu.

Lalu telunjuknya bolak balik menunjuk aku dan bayi dalam gendonganku.  Aku mengangguk, dengan bahasa mulutku aku berusaha berkomunikasi, "Iya ini anakku".  Kemudian ibu ini menunjukku dan memberi isyarat yang aku artikan dulu aku anak kecil. 

Kemudian, telapak tangannya ditaruhnya di dada, sambil tersenyum dan menarik nafas.   "Ehhmm...mungkin maksudnya dulu aku ini anak kecil yang dikenalnya, dan kini sudah menjadi ibu, dan dia ikutan senang." Pikirku.

Sewaktu kecil pertanyaanku ini tidak mengusik.  Tetapi ketika aku sudah beranjak dewasa, dan menjadi seorang ibu maka ada rasa sedih, nggak tega dan berbagai pertanyaan lainnya.  "Siapa nama sebenarnya ibu ini? Kemana yah keluarga ibu ini?  Apakah hidupnya tidak sepi?"   Tetapi semuanya tidak pernah mendapat jawaban samasekali.

Ketika bapakku berpulang beberapa tahun lalu, aku kembali tidak menyangka kalau ibu ini ikut merasa kehilangan sangat.  Di satu kesempatan saat mengantar pesanan kami, dihampirinya aku.  Tangannya yang kini sudah tua itu mengelus pundakku.

Aku paham ibu ini ingin memberiku kekuatan.  Hanya saja aku nggak nyangka ibu ini begitu sedih, dan melihatnya mencoba menyembunyikan airmata, dihapus dan digantinya dengan senyum.  Termasuk ketika aku juga memberikan beberapa lembar uang ribuan seperti kebiasaan bapak. 

Aku melihat matanya kembali basah, dan kembali tangannya mengusap pundakku, lalu kedua telapak tangannya dikatupkan seperti orang berdoa.  "Iya terima kasih kataku," dengan mulutku yang mencoba memperjelas komunikasi kami.

Ibu Gagu hanya satu dari sekian banyak orang yang melintas dalam kehidupanku.  Mengenalnya sejak aku masih kanak-kanak hingga aku sudah menjadi seorang ibu.  

Tidak terasa kehadirannya yang sekilas dalam kehidupan keluargaku ternyata mempunyai arti yang besar untuknya.  Termasuk ketika anak-anakku beranjak remaja.  Sesekali aku melihat si ibu bercanda dengan kedua anakku yang membantunya mengangkat galon atau pun tabung gas.

Seingatku tidak pernah ibu ini tidak bercanda.  Tidak pernah tidak tertawa, dan tidak pernah diam.  Selalu kehadirannya membuat ramai isi rumahku.  Padahal hidupnya sepi karena tidak mendengar.

Inilah sepenggal ceritaku tentang Ibu Gagu, yang sejak setahun lalu sudah tidak lagi bekerja di toko kelontong itu.  Usianya yang semakin tua membuatnya tidak mungkin lagi mendorong gas trolley.  

Kembali menurut pemilik toko kelontong, dengan berbahasa isyarat si ibu pamit mau pulang kampung katanya.  Tetapi, tidak ada yang tahu persisnya dimana, hanya dengan suara auuh...auh...dan tangannya memberi isyarat jauh.

Satu pelajaran berharga dari mereka yang hidup dalam kondisi keterbatasan fisik.  Ada banyak dari mereka yang tidak ingin dikasihani, dan memilih mandiri, berbuat dengan apa yang bisa.  Ibu Gagu contohnya, di dalam sepinya mampu membuat orang lain tertawa bahagia.

Justru dari mereka kita belajar untuk menghargai hidup, dan selalu bersyukur.  Melihat keterbatasan dengan cara pandang optimis.

Tidak tahu dimana keberadaannya.  Semoga Ibu Gagu dalam kondisi baik. Amen.

Jakarta, 3 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun