Tidak jauh dari rumah ada sebuah toko kelontong yang menjual segala kebutuhan sehari-hari. Â Sejak aku kecil toko itu sudah ada. Â Sampai sekarang aku mempunyai 2 anak pun, toko itu masih ada, dan masih sama seperti dulu.
Berbeda dari toko lainnya, di toko ini ada si Gagu begitu orang memanggilnya. Â Tidak bermaksud menghina, sejak kecil aku memilih memanggilnya dengan sebutan Ibu Gagu. Â Iya, tidak ada yang tahu nama sebenarnya siapa, karena ibu ini juga buta huruf. Â Tetapi sebutan ibu menurutku lebih sopan.
Pemilik toko kelontong juga mengenalnya tidak sengaja. Â Ibu Gagu datang ke toko tersebut dan dengan bahasa isyarat meminta pekerjaan. Â Itulah awal ceritanya Ibu Gagu bekerja di toko tersebut.
Ibu Gagu tugasnya membawa pesanan gas, galon atau apa saja ke setiap rumah pelanggan dengan menggunakan gas trolley. Â Hanya mengantarkannya saja, tidak mengangkat pesanan pelanggannya. Â
Sewaktu bapakku masih ada, setiap kali si ibu datang membawa pesanan kami maka bapak akan sibuk menyiapkan beberapa lembar uang Rp 10 ribu. Â Jika galonnya 2 maka, si Gagu diberikan 2 lembar Rp 10 ribu, dan jika 3 maka 3 lembar.
Satu yang sangat mengesankan dari ibu ini adalah pembawaannya yang periang. Â Setiap ke rumah kami selalu wajahnya itu riang sekali. Â Menggunakan bahasa isyarat yang (maaf) aah..uuu..ahh..dan kode tangan si ibu berusaha menyampaikan sesuatu kepada kami. Â Selalu ada cerita kepada kami. Â Padahal sulit untuk kami memahami ibu ini bicara apa.
Percaya tidak percaya, satu waktu ketika dilihatnya aku menggendong putri pertamaku, dia bahkan ikutan senang. Â Iya, sore itu kebetulan Ibu Gagu mengantarkan pesanan kami. Â
Dilihatnya aku di teras menggendong putriku. Â Lalu dia berlari menghampiri sambil tersenyum senang sekali. Â Seperti ingin mengelus putriku, tetapi ragu.
Lalu telunjuknya bolak balik menunjuk aku dan bayi dalam gendonganku. Â Aku mengangguk, dengan bahasa mulutku aku berusaha berkomunikasi, "Iya ini anakku". Â Kemudian ibu ini menunjukku dan memberi isyarat yang aku artikan dulu aku anak kecil.Â
Kemudian, telapak tangannya ditaruhnya di dada, sambil tersenyum dan menarik nafas. Â "Ehhmm...mungkin maksudnya dulu aku ini anak kecil yang dikenalnya, dan kini sudah menjadi ibu, dan dia ikutan senang." Pikirku.
Sewaktu kecil pertanyaanku ini tidak mengusik. Â Tetapi ketika aku sudah beranjak dewasa, dan menjadi seorang ibu maka ada rasa sedih, nggak tega dan berbagai pertanyaan lainnya. Â "Siapa nama sebenarnya ibu ini? Kemana yah keluarga ibu ini? Â Apakah hidupnya tidak sepi?" Â Tetapi semuanya tidak pernah mendapat jawaban samasekali.