Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Si Gagu, Orang Memanggilnya

3 Desember 2020   00:39 Diperbarui: 3 Desember 2020   00:44 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika bapakku berpulang beberapa tahun lalu, aku kembali tidak menyangka kalau ibu ini ikut merasa kehilangan sangat.  Di satu kesempatan saat mengantar pesanan kami, dihampirinya aku.  Tangannya yang kini sudah tua itu mengelus pundakku.

Aku paham ibu ini ingin memberiku kekuatan.  Hanya saja aku nggak nyangka ibu ini begitu sedih, dan melihatnya mencoba menyembunyikan airmata, dihapus dan digantinya dengan senyum.  Termasuk ketika aku juga memberikan beberapa lembar uang ribuan seperti kebiasaan bapak. 

Aku melihat matanya kembali basah, dan kembali tangannya mengusap pundakku, lalu kedua telapak tangannya dikatupkan seperti orang berdoa.  "Iya terima kasih kataku," dengan mulutku yang mencoba memperjelas komunikasi kami.

Ibu Gagu hanya satu dari sekian banyak orang yang melintas dalam kehidupanku.  Mengenalnya sejak aku masih kanak-kanak hingga aku sudah menjadi seorang ibu.  

Tidak terasa kehadirannya yang sekilas dalam kehidupan keluargaku ternyata mempunyai arti yang besar untuknya.  Termasuk ketika anak-anakku beranjak remaja.  Sesekali aku melihat si ibu bercanda dengan kedua anakku yang membantunya mengangkat galon atau pun tabung gas.

Seingatku tidak pernah ibu ini tidak bercanda.  Tidak pernah tidak tertawa, dan tidak pernah diam.  Selalu kehadirannya membuat ramai isi rumahku.  Padahal hidupnya sepi karena tidak mendengar.

Inilah sepenggal ceritaku tentang Ibu Gagu, yang sejak setahun lalu sudah tidak lagi bekerja di toko kelontong itu.  Usianya yang semakin tua membuatnya tidak mungkin lagi mendorong gas trolley.  

Kembali menurut pemilik toko kelontong, dengan berbahasa isyarat si ibu pamit mau pulang kampung katanya.  Tetapi, tidak ada yang tahu persisnya dimana, hanya dengan suara auuh...auh...dan tangannya memberi isyarat jauh.

Satu pelajaran berharga dari mereka yang hidup dalam kondisi keterbatasan fisik.  Ada banyak dari mereka yang tidak ingin dikasihani, dan memilih mandiri, berbuat dengan apa yang bisa.  Ibu Gagu contohnya, di dalam sepinya mampu membuat orang lain tertawa bahagia.

Justru dari mereka kita belajar untuk menghargai hidup, dan selalu bersyukur.  Melihat keterbatasan dengan cara pandang optimis.

Tidak tahu dimana keberadaannya.  Semoga Ibu Gagu dalam kondisi baik. Amen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun