pada piala AFF 2010 lalu, semua pelajar di Malaysia diundang ke KBRI Kuala Lumpur. perwakilan PSSI memberi kaos berlogo “Bakrie Land” plus tiket gratis masing-masing sepuluh tiket perorang yang hadir. Oh mohon maaf ini bukan fitnah. saya salah satu mahasiswa yang hadir di sana saat itu. Salah satu buktinya adalah gambar diatas, kami berfoto sebelum masuk stadion dan melihat timnas kalah 3-0 dari Malaysia. Kalah dengan blunder lucu dan sinar laser.
sampai akhirnya setelah kalah telak seperti kucing ketakutan, takut hanya karena sinar laser yang sebenarnya sudah sangat-sangat biasa terjadi, saya jadi tau bahwa semua sudah dikondisikan. semua sudah diatur, termasuk skor.
perbandingan itu terasa saat AFF 2012 dimana saya juga masih di Kuala Lumpur. Tak ada bagi-bagi kaos. tak ada obral 10 tiket permahasiswa. skuad Nil Maizar yang tak dibiayai pemerintah itu tetap berangkat atas nama Indonesia. dengan segala keterbatasan pemain yang dilarang memperkuat timnas. saat itu timnas cukup beringas meski hampir semua pemainnya adalah pemain baru atau alumni U23. Kalah memang, tapi kalah setelah permainan selesai. bukan sebelum selesai sudah menyerah. tak ada blunder lucu.
tapi beruntung akhirnya Indonesia benar-benar memiliki Presiden sungguhan. Jokowi. bukan jenderal, bukan pimpinan partai, tapi punya nyali. menantang semua orang yang main-main terhadap negara ini.
Jokowi bisa dengan mudah membubarkan Petral, tembak mati pengedar narkoba, tenggelamkan ratusan kapal ilegal, mudah. Tapi PSSI lebih kuat dari itu. PSSI memiliki semua perangkat yang memungkinkan tetap melawan negara ini. Mereka punya jaringan orde baru yang sudah terlanjur mengakar. Indonesia tak boleh ikut campur urusan PSSI. Hinca bahkan sesumbar mengatakan “sepak bola milik FIFA.” menolak semua bentuk intervensi.
setelah PSSI diambil paksa oleh La Nyalla dan hanya menyisakan Djohar sebagai ketua boneka, 2015 lalu La Nyala berhasil menjadi ketum PSSI sungguhan. Ini alurnya akan sama saja. Seperti dulu lagi. wasit dipukul pemain, rusuh, penalti di akhir laga, kartu merah dan segala dagelan sepak bola.
selama PSSI diberi sanksi, pemerintah Jokowi memberi contoh pertandingan yang fair. Lihatlah di Piala Presiden, Piala Sudirman, Bali Island Cup dan seterusnya. apa ada wasit dipukuli? apa ada sepak bola gajah? apa ada kartu merah kontroversi? seberapa sering penalti di menit 90? silahkan dipikirkan lagi.
mereka bisa berlaga tanpa APBD. tak perlu ada lagi pemain yang mengamen hanya untuk menyambung hidup dan mati karena sakit tak dibiayai.
memang ada keluhan pemain tidak bisa main, tidak ada liga, tidak dapat pemasukan. tapi daripada ada liga tapi gaji tidak dibayar? daripada ada liga hanya untuk main sinetron dan skor sesuai pesanan? ikut kompetisi internasional hanya setor skor ke raja judi? silahkan dipikirkan lagi.
ada salah satu komentar yang masuk ditulisan saya dan sangat menarik. sepak bola Indonesia ini seperti orang sakit kronis yang harus segera dioperasi supaya sehat. Yang namanya dioperasi memang menyakitkan, disayat. Tak ada jaminan setelah operasi selesai pasti sembuh. tapi itu harus dilakukan. Kalau belum sembuh, maka harus dioperasi lagi.
nah, sanksi 1 tahun inilah proses operasi dan penyembuhan. Jika melihat ‘terapi’ pertandingan dengan contoh sepak bola profesional, tertib dan dibayar, harusnya setelah ini kita benar-benar menonton pertandingan sepak bola, bukan drama dan skor yang sudah diatur. Harusnya antek-antek Nurdin Halid malu jika masih mau menggrogoti sepak bola Indonesia.