Mohon tunggu...
Dessy Yasmita
Dessy Yasmita Mohon Tunggu... Desainer - valar morghulis

If you want to be a good author, study Game of Thrones.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Palasakti

20 Desember 2018   18:24 Diperbarui: 20 Desember 2018   18:41 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia selalu tepat waktu. Semua pekerjaannya diserahkan tepat waktu, sesuai janjinya. Waktu tak bisa diganggu gugat. Wenny yang tepat waktu, kata pegawai di kantornya.

Ia selalu tiba sebelum pukul tujuh. Malas macet, katanya. Sering, akhirnya dia duduk di lobi sambil membaca atau pergi ke kafe kopi di taman kantor.

Hari ini, begitulah dia memanfaatkan pagi yang lengang. Ia duduk sendirian ketika pelayan kafe pun masih mengepel. Wenny sedang malas membaca. Membaca isi media sosial bukan hobinya. Jadi, ia duduk bertopang dagu, menatap jalanan.

Tatapannya kemudian tertuju pada seorang pria yang tergopoh-gopoh datang. Ia memakai kaos, celana panjang dengan banyak kantong, dan memanggul sebuah ransel yang kelihatan berat. Begitu masuk, ia segera membeli kopi untuk dibawa.

Wenny memperhatikan aktivitas itu tanpa berpikir. Ketika si pria membalikkan tubuh, mata mereka saling bertemu. Biasanya Wenny akan segera mengalihkan tatapan. Namun, sesuatu menahannya, meski ia tak tahu mengapa.

"Maaf, apa saya mengenal Mbak?" Pria itu mendekat hati-hati.

"Eh, saya?" Wenny mengedarkan tatapan, tapi memang hanya ia sendiri yang duduk di situ.

"Ya. Apa ada yang salah?"

"Tidak."

"Apa kita pernah bertemu?"

"Tidak. Saya rasa tidak. Mas fotografer?"

Pria itu menyeringai, tetapi menatapnya dengan misteri. "Ya. Saya akan naik ke gedung itu," tunjuknya.

Wenny mengikuti arahan telunjuknya. "Saya kerja di sana."

"Oh?" Alis mata si pria terangkat sebelah. "Kita bisa naik lift yang sama."

"Sekarang?"

"Sekarang."

Seperti sihir, Wenny mengikutinya. Tidak ada percakapan di antara mereka selain si pria mengatakan namanya. Darin.

Mereka tiba di atap gedung. Angin kuat menerpa, terasa agak dingin. Wenny harus memegangi kepalanya agar rambutnya tak menggila diembus angin.

"Kau lupa padaku," kata Darin enteng, sambil membuka ranselnya.

"Lupa?"

"Kau lupa tentang Palasakti?"

"Palasakti?" Wendy semakin bingung. Pria yang aneh.

"Aku akan menunjukkannya padamu." Ia tersenyum, lembut. Dari ransel, ditariknya sebuah kamera poket tahun 90-an. Darin kemudian merogoh saku celananya. Sebuah batu kecil di genggamannya. "Kau percaya sihir?"

Wenny mengernyit, juga mulai ngeri.

Darin menatap batu itu. Tak lama kemudian awan sedikit menggelap. "Ah, itu dia!" serunya senang. "Palasakti sudah terbuka!"

Wenny menatap langit. Ada semacam jalur dari kilauan cahaya biru seperti satin ditiup angin.

"Kau ikut?" Darin kembali memanggul ranselnya.

Wenny hanya menatap tak mengerti.

Darin maklum. Tangannya mengarah ke langit. Seperti magnet, pelan-pelan cahaya biru itu mengarah padanya. Ia masih menatap Wenny lekat-lekat. Sekali lagi ia tersenyum. "Aku sudah lama menantimu," katanya lembut. "Kau tahu, aku masih ..."

Kata-katanya tak tertangkap Wenny. Darin menghilang tanpa bekas. Langit kembali normal, meski awan gelap. Hujan turun.

Wenny buru-buru berlari, tetapi tersandung. Kamera. Darin.

Hujan menderas. Wenny berlari masuk gedung. Ia terlambat dua puluh menit dari jam kerja.

**

Dua minggu berlalu. Susah payah akhirnya ia berhasil mencuci rol film dari kamera itu lewat jasa daring. Di zaman serba digital, hasilnya pun sudah dibuat dalam digital. 

Ia tak mengerti. Ada banyak fotonya bersama Darin dengan timestamp tahun 1990-an.

Ketakutan, ia menatap bayangan samarnya di jendela kantor. Ia mencoba mengingat siapa dirinya. Namun, ingatannya hanya penuh sampai tiga minggu yang lalu. Selebihnya?

****

Catatan: menulis ketika kepala lagi sakit. Jadilah Palasakti. ;)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun