"Aku akan menunjukkannya padamu." Ia tersenyum, lembut. Dari ransel, ditariknya sebuah kamera poket tahun 90-an. Darin kemudian merogoh saku celananya. Sebuah batu kecil di genggamannya. "Kau percaya sihir?"
Wenny mengernyit, juga mulai ngeri.
Darin menatap batu itu. Tak lama kemudian awan sedikit menggelap. "Ah, itu dia!" serunya senang. "Palasakti sudah terbuka!"
Wenny menatap langit. Ada semacam jalur dari kilauan cahaya biru seperti satin ditiup angin.
"Kau ikut?" Darin kembali memanggul ranselnya.
Wenny hanya menatap tak mengerti.
Darin maklum. Tangannya mengarah ke langit. Seperti magnet, pelan-pelan cahaya biru itu mengarah padanya. Ia masih menatap Wenny lekat-lekat. Sekali lagi ia tersenyum. "Aku sudah lama menantimu," katanya lembut. "Kau tahu, aku masih ..."
Kata-katanya tak tertangkap Wenny. Darin menghilang tanpa bekas. Langit kembali normal, meski awan gelap. Hujan turun.
Wenny buru-buru berlari, tetapi tersandung. Kamera. Darin.
Hujan menderas. Wenny berlari masuk gedung. Ia terlambat dua puluh menit dari jam kerja.
**