"Bohemian Rhapsody" sukses meninggalkan kesan emosional yang cukup dalam bagi saya. Bukan saja karena lagu-lagu hits Queen wara-wiri sepanjang tayangan bikin nggak tahan sing along, atau kepincut dengan akting ciamik Rami Malek sebagai Freddie Mercury. Namun, sebagai penonton saya merasa sedang "menyelami" kehidupan Freddie Mercury, mengenal bagaimana karakternya, serta diajak menyaksikan "sejarah" terciptanya lagu-lagu hits mereka. Bagi saya, hal-hal tersebut terasa menyenangkan, dan meninggalkan kesan yang membahagiakan selepas menonton.
Harapan untuk bernostalgia dengan sensasi tersebut tentu saja memenuhi benak saya saat akhirnya berkesempatan menonton "Elvis". Sayangnya, saya merasakan jalan cerita "Elvis" ini mengalir lambat, bahkan setelah lebih dari setengah "perjalanan" film.Â
Meskipun IMDB "menghadiahi" rating 7,4/10 pada saat tulisan ini dibuat, namun bagi saya film ini belum bisa mengemas konflik-konflik yang "biasa saja" itu menjadi menarik. Bahkan perkara "Elvis the pervis" yang saya singgung sebelumnya itu, seharusnya bisa "diselesaikan" dengan lebih sempurna, karena melibatkan konflik batin yang kuat.
Sebenarnya, saya bisa saja menyukai film dengan konflik yang "biasa saja", atau bahkan picisan. Karena, ada hal-hal lain yang bisa membuat film tersebut menjadi menarik. Salah satunya adalah akting para pemerannya.Â
Namun saya tidak bisa merasakan emosi yang mendalam melihat Austin Butler memerankan sang megabintang. Menonton film ini tidak bisa membuat saya merasa ikut "menjadi" Elvis. Saya merasa, saya tidak bisa ikut larut dalam kejayaannya, tidak bisa jatuh cinta dengan sosoknya, bahkan saya tidak bisa ikut meratap ketika ibunda tersayangnya wafat.
Padahal, dari laman Wikipedia saya mengetahui bahwa akting Austin Butler di film ini diganjar penghargaan oleh "Hollywood Critics Association Midseason Film Awards" sebagai best actor. Tapi maaf, untuk hal ini saya sepertinya tidak sepakat. Lalu bagaimana dengan Tom Hanks yang memerankan Colonel Tom Parker, sang manager Elvis. Tentu saja saya tidak meragukan akting sang aktor senior peraih berbagai penghargaan ini. Namun, ini adalah film Elvis. Film tentang Elvis. Menurut saya, biar bagaimanapun Sang Elvis-lah yang menjadi pusat perhatian di sini, meskipun film ini dikemas dalam point of view sang kolonel.
Penempatan Tom Hanks sebagai "pencerita" ini sebenarnya bisa menjadi pembuka film yang cukup menarik. Apalagi, Tom seperti mengklarifikasi, menepis tuduhan-tuduhan bahwa ia lah yang "menghancurkan" sang bintang. Penonton yang bukan die-hard fans-nya Elvis pasti bertanya-tanya, "Lho, ada afa???"
Namun seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, bagi saya film ini kurang bisa mengemas konflik-konfliknya dengan sempurna, sehingga saya merasa seperti banyak emosi yang hilang di sana. Kurang greget. Mungkin, itu ungkapan yang paling cocok bagi saya untuk menggambarkan film ini.
Selain itu, sebagai sebuah film biografi saya merasa film ini kurang lengkap menggambarkan kisah hidup sang bintang. Seperti misalnya mengapa di film ini tidak dipaparkan bagaimana Elvis Presley memulai debutnya di dunia film. Padahal selain menjadi penyanyi, Elvis Presley juga dikenal sebagai aktor.Â
Dari laman Wikipedia saya mengetahui bahwa beliau telah membintangi lebih dari 30 film selama 1956-1972 lho. Saya sempat menduga, keminiman (jika tidak ingin dibilang tidak ada) "sejarah" Elvis di dunia film ini mungkin saja karena keterbatasan durasi film Elvis itu sendiri. Jadi bisa saja, "sejarah" ini menjadi tidak diprioritaskan untuk ditampilkan dalam film Elvis.
Kembali lagi, bagi saya ini adalah film Elvis; film biografi sang bintang. Rasanya tanggung jika hal ini pun tidak disinggung. Namun, beberapa kekecewaan saya agak sedikit terobati menjelang akhir cerita.Â