Mohon tunggu...
Dessy Liestiyani
Dessy Liestiyani Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta, mantan kru televisi, penikmat musik dan film

menggemari literasi terutama yang terkait bidang pariwisata, perhotelan, catatan perjalanan, serta hiburan seperti musik, film, atau televisi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

[Resensi Film] Mengenal Elvis Presley Melalui "Elvis" (2022)

6 Desember 2022   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2024   21:47 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.imdb.com

Judul : Elvis

Durasi: 159 menit

Kategori : drama

Tanggal rilis : 24 Juni 2022

Sutradara : Baz Luhrmann

Produser : Baz Luhrmann, Catherine Martin, Gail Berman, Patrick McCormick, Schulyer Weiss

Penulis : Baz Luhrmann, Jeremy Doner, Sam Bromell, Craig Pearce

Pemain : Austin Butler, Tom Hanks, Olivia DeJonge

Biaya : US$ 85 juta

Box office : US$ 286 juta

Produksi : Warner Bros. Pictures

*

Saya percaya jalan hidup seseorang telah digariskan Pencipta-nya. Bagaimana akar ruhnya, bagaimana lakon hidupnya, dan bagaimana akhir nafasnya. Saya sendiri suka membayangkan bagaimana akhir hidup saya nantinya. Saya tahu, ini rahasia Tuhan; Sang Pencipta saya. Tapi, apakah tabu jika sekadar mengira-ngira?

Ya, saya suka melamunkan apakah saya nanti akan mati menua? Atau, roh saya akan terbang menyaksikan jasad saya yang terbujur kaku bersimbah darah? Atau, apakah saya akan bernasib seperti beberapa artis yang berkalang tanah di puncak karirnya, puncak kesuksesannya, puncak kejayaan hidupnya? Seperti penyanyi dan aktor Hollywood Elvis Presley, yang kematian tragisnya di usia 42 tahun membuat kita tak akan pernah bisa membayangkan bagaimana sosoknya jika menua!

Ketika menyebut nama beliau, apa yang pertama kali terbayang di benak kalian? Sesosok "satria bergitar" klimis dengan rambut stylish-nya? Atau celana cutbray yang berkibar-kibar? Bagaimana dengan gaya bernyanyinya yang khas menghentak-hentakkan kaki serta pinggul? Atau suara beratnya yang sangat maskulin; sangat "laki-laki"? Atau, mungkin kalian hanya mengenal namanya karena beliau mewakili idola era ABG; Angkatan Babe Gue, atau malah Angkatan Buyut Gue?

Bagaimana pun kalian mengingatnya, saya yakin kalian sepakat bahwa Elvis Presley adalah salah seorang artis yang kepopulerannya melintasi generasi. Tanpa perlu dijelaskan oleh papah, mamah, om, tangteh, oma, opa, atau Si Komo, sosok Elvis Presley sepertinya tetap bisa dikenal bahkan oleh bocah-bocah zaman now. Gaya dan penampilannya memang berbeda, dan karya-karyanya sungguh istimewa.

Buktinya, sampai saat ini penjualan album-albumnya masih saja mendulang sukses. Mengutip laman bbc.com, dari data yang dikumpulkan majalah Forbes tercatat bahwa pada 2016 saja sang mendiang masih tetap mampu meraih pendapatan 27 juta US Dolar atau sekitar 361 miliar rupiah, dan satu juta albumnya masih laku terjual. Gilaaak. Gilaaak.

Elvis memang megabintang. Padahal, sudah lebih empat puluh tahun sejak kematiannya di 1977. Namun sampai saat ini pun orang-orang masih mengingatnya, masih meniru penampilannya, masih berusaha "menghidupinya" walaupun sekadar untuk meramaikan festival-festival kostum. Yeee kan?

Tapi tahukah kalian bahwa di zamannya, sang bintang sempat menjadi kontroversi karena pemerintah setempat saat itu menganggap sang bintang menampilkan gerakan yang provokatif sensual? Elvis pun sempat dijuluki "Elvis the pelvis". 

Buat yang nggak tahu dan males buka google translate, 'pelvis' itu artinya panggul. Yoi, gerakan panggul yang menjadi stage act khas beliau dinilai berbahaya karena dianggap bernuansa sensual yang (bisa) memprovokasi audience-nya. Beliau kemudian sempat manut, mengubah gayanya menjadi lebih "kalem". Perkara ini yang kemudian diangkat di film biografi beliau di pertengahan 2022 lalu berjudul "Elvis". Kecuali kalian adalah penggemar fanatiknya, saya yakin tidak semua orang tahu hal ini.

Saya sempat melihat satu-dua kali thriller film ini di bioskop, sekitar pertengahan 2022 lalu. Saya sebenarnya bukan penggemar fanatik Elvis Presley, hanya seorang pendengar musik yang tentu saja mengenal beberapa karya beliau yang melegenda. Thriller tersebut menarik perhatian saya, dan membuat saya memendam hasrat untuk menontonnya. Saya berharap akan merasakan sensasi yang sama seperti ketika menonton "Bohemian Rhapsody" di 2018, yang mengisahkan perjalanan karir band "Queen".

"Bohemian Rhapsody" sukses meninggalkan kesan emosional yang cukup dalam bagi saya. Bukan saja karena lagu-lagu hits Queen wara-wiri sepanjang tayangan bikin nggak tahan sing along, atau kepincut dengan akting ciamik Rami Malek sebagai Freddie Mercury. Namun, sebagai penonton saya merasa sedang "menyelami" kehidupan Freddie Mercury, mengenal bagaimana karakternya, serta diajak menyaksikan "sejarah" terciptanya lagu-lagu hits mereka. Bagi saya, hal-hal tersebut terasa menyenangkan, dan meninggalkan kesan yang membahagiakan selepas menonton.

Harapan untuk bernostalgia dengan sensasi tersebut tentu saja memenuhi benak saya saat akhirnya berkesempatan menonton "Elvis". Sayangnya, saya merasakan jalan cerita "Elvis" ini mengalir lambat, bahkan setelah lebih dari setengah "perjalanan" film. 

Meskipun IMDB "menghadiahi" rating 7,4/10 pada saat tulisan ini dibuat, namun bagi saya film ini belum bisa mengemas konflik-konflik yang "biasa saja" itu menjadi menarik. Bahkan perkara "Elvis the pervis" yang saya singgung sebelumnya itu, seharusnya bisa "diselesaikan" dengan lebih sempurna, karena melibatkan konflik batin yang kuat.

Sebenarnya, saya bisa saja menyukai film dengan konflik yang "biasa saja", atau bahkan picisan. Karena, ada hal-hal lain yang bisa membuat film tersebut menjadi menarik. Salah satunya adalah akting para pemerannya. 

Namun saya tidak bisa merasakan emosi yang mendalam melihat Austin Butler memerankan sang megabintang. Menonton film ini tidak bisa membuat saya merasa ikut "menjadi" Elvis. Saya merasa, saya tidak bisa ikut larut dalam kejayaannya, tidak bisa jatuh cinta dengan sosoknya, bahkan saya tidak bisa ikut meratap ketika ibunda tersayangnya wafat.

Padahal, dari laman Wikipedia saya mengetahui bahwa akting Austin Butler di film ini diganjar penghargaan oleh "Hollywood Critics Association Midseason Film Awards" sebagai best actor. Tapi maaf, untuk hal ini saya sepertinya tidak sepakat. Lalu bagaimana dengan Tom Hanks yang memerankan Colonel Tom Parker, sang manager Elvis. Tentu saja saya tidak meragukan akting sang aktor senior peraih berbagai penghargaan ini. Namun, ini adalah film Elvis. Film tentang Elvis. Menurut saya, biar bagaimanapun Sang Elvis-lah yang menjadi pusat perhatian di sini, meskipun film ini dikemas dalam point of view sang kolonel.

Penempatan Tom Hanks sebagai "pencerita" ini sebenarnya bisa menjadi pembuka film yang cukup menarik. Apalagi, Tom seperti mengklarifikasi, menepis tuduhan-tuduhan bahwa ia lah yang "menghancurkan" sang bintang. Penonton yang bukan die-hard fans-nya Elvis pasti bertanya-tanya, "Lho, ada afa???"

Namun seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, bagi saya film ini kurang bisa mengemas konflik-konfliknya dengan sempurna, sehingga saya merasa seperti banyak emosi yang hilang di sana. Kurang greget. Mungkin, itu ungkapan yang paling cocok bagi saya untuk menggambarkan film ini.

Selain itu, sebagai sebuah film biografi saya merasa film ini kurang lengkap menggambarkan kisah hidup sang bintang. Seperti misalnya mengapa di film ini tidak dipaparkan bagaimana Elvis Presley memulai debutnya di dunia film. Padahal selain menjadi penyanyi, Elvis Presley juga dikenal sebagai aktor. 

Dari laman Wikipedia saya mengetahui bahwa beliau telah membintangi lebih dari 30 film selama 1956-1972 lho. Saya sempat menduga, keminiman (jika tidak ingin dibilang tidak ada) "sejarah" Elvis di dunia film ini mungkin saja karena keterbatasan durasi film Elvis itu sendiri. Jadi bisa saja, "sejarah" ini menjadi tidak diprioritaskan untuk ditampilkan dalam film Elvis.

Kembali lagi, bagi saya ini adalah film Elvis; film biografi sang bintang. Rasanya tanggung jika hal ini pun tidak disinggung. Namun, beberapa kekecewaan saya agak sedikit terobati menjelang akhir cerita. 

Saya merasa mulai bisa menikmati film ini justru ketika sang kolonel -- yang mungkin tetap dianggap sebagai the bad guy meskipun film ini terkemas dalam point of view beliau- seperti layaknya sinetron mulai terbuka rahasianya, dan beliau melancarkan strategi-strategi untuk tetap "menguasai" sang bintang. 

Di sini, emosi saya mulai teraduk-aduk; melihat getirnya hidup sang bintang, mengutuk orang-orang yang menjadikannya sapi perahan, atau seperti ikut merasakan sakit yang dideritanya.

Pada akhirnya, suka-nggak suka sang bintang sepertinya memang telah ditakdirkan Sang Pencipta untuk tetap bersama sang kolonel, sampai akhir hayatnya. Dan, tayangan asli dari pementasan terakhir beliau di 1977 ketika membawakan "unchained melody" menjadi closing indah yang menyayat hati. Sayangnya, emosi ini bisa dibilang baru saya dapatkan di sepertiga terakhir. Ya, sayangnya ...

Rating: 6,5/10

Sumber referensi:

www.bbc.com

www.wikipedia.com

www.imdb.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun