"Aku hanya ingin membagikan kenangan agar senandung Ibu hidup dalam perahu-perahu yang kubuat."
"Adakah lagu lain?"
"Belum. Lir ilir terlanjur melebur dalam darahku."
Dan Mika menjadi kerap meraut bersamaku, menghiasi gubuk dengan tawanya yang khas. Senyumnya mekar di mana-mana, bergelantungan pada ujung jerami atapku. Tangan kami bersentuhan, bergantian membalut luka karena goresan pisau.
Lama-lama hati kami saling merindu, berlomba-lomba ingin jumpa. Aku memintanya menjadi kekasih. Mika mengangguk malu-malu.
"Kau tidak malu memiliki kekasih miskin sepertiku?"
"Sejak kapan cinta mempunyai rasa malu?"
"Aku tidak bisa membelikanmu baju baru, mengajakmu makan enak dan menjaminkan masa depan yang indah. Kau tahu kan, penghasilanku sebagai penjual perahu bambu hanya mampu mentraktirmu semangkuk ronde."
"Jika aku tidak peduli dengan semua itu, kau bisa apa?"
Mika membuatku kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa membalasnya dengan meremas-remas jemarinya yang lentik.
*