Sampai aku melihat bambu mengapung pada anak sungai. Kupungut, kuraut, kubuat perahu mainan. Bambu yang panjangnya hampir satu meter, menjadi lima perahu yang laku ketika kujajar di depan gerbang sekolah. Perahu bambu yang lengkungnya mirip senyum Ibu, yang layarnya mirip punggung Bapak dari kejauhan.
"Bisakah kau mengajariku membuat perahu bambu?"
Binar matanya buatku gagal menolak.
"Ini satu-satunya kendaraan yang kupunya. Jaraknya cukup jauh, kau harus bermandi terik tiga puluh menit lamanya, dengan memangku keranjang penuh perahu bambu."
Mika mengangguk, terlihat pasrah ketika kubawa ke gubuk di tengah sawah.
"Aku tinggal di sini. Sepulang menjajakan perahu bambu, aku mengajak padi-padi bernyanyi."
Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir, tak ijo royo royo, tak sengguh penganten anyar
Mika merebahkan tubuhnya, memejamkan mata. Membiarkannya menghirup aroma padi sebanyak yang mampu ia tampung dalam rongga dadanya.
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi, lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
Aku meraut bambu lebih lambat dari biasanya, memberinya kesempatan untuk mengingat lebih lama.
"Apa kau selalu bernyanyi ketika membuat perahu bambu?"