Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

â–ªtidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnyaâ–ª

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nyanyian Masa Lalu

10 Maret 2020   06:00 Diperbarui: 10 Maret 2020   06:55 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: www.cbhs.com.au

Sampai aku melihat bambu mengapung pada anak sungai. Kupungut, kuraut, kubuat perahu mainan. Bambu yang panjangnya hampir satu meter, menjadi lima perahu yang laku ketika kujajar di depan gerbang sekolah. Perahu bambu yang lengkungnya mirip senyum Ibu, yang layarnya mirip punggung Bapak dari kejauhan.

"Bisakah kau mengajariku membuat perahu bambu?"

Binar matanya buatku gagal menolak.

"Ini satu-satunya kendaraan yang kupunya. Jaraknya cukup jauh, kau harus bermandi terik tiga puluh menit lamanya, dengan memangku keranjang penuh perahu bambu."

Mika mengangguk, terlihat pasrah ketika kubawa ke gubuk di tengah sawah.

"Aku tinggal di sini. Sepulang menjajakan perahu bambu, aku mengajak padi-padi bernyanyi."

Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir, tak ijo royo royo, tak sengguh penganten anyar

Mika merebahkan tubuhnya, memejamkan mata. Membiarkannya menghirup aroma padi sebanyak yang mampu ia tampung dalam rongga dadanya.

Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi, lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira

Aku meraut bambu lebih lambat dari biasanya, memberinya kesempatan untuk mengingat lebih lama.

"Apa kau selalu bernyanyi ketika membuat perahu bambu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun