Sudah kuduga, hal ini pasti terjadi. Kami terjebak di hutan. Pak Her, sopir bus tua yang kami tumpangi, sibuk membongkar mesin. Sementara Pak Lukman modar-mandir, mengusir cemas.
"Kau harus bertanggung jawab atas kejadian ini!"
Telunjuk Pak Lukman mengarah kepadaku. Disambung Pak Fred yang tak kalah gusar, "Cepat bawa kami pergi dari sini!"
"Bukankah Anda seorang petualang, Pak Fred? Apa yang Anda takutkan?"
Matanya melotot. Pak Fred memilih turun dari bus, "Ocehanmu membuat perutku semakin sakit!"
"Rupanya hasrat buang hajat membuat kakek itu lupa membawa tongkatnya," timpal Anggi yang sedang asyik menggunggah beberapa foto di Instagram.
Anggi merupakan satu-satunya peserta rombongan yang tak dihantui rasa takut, meski menahan sakit pada kakinya yang terkilir lantaran sibuk mengabadikan Kuskus ke layar ponselnya. Berbeda dengan Kanaya, mulutnya tak henti mengunyah cokelat pemberian Anggi.
Kanaya sama sepertiku dulu. Penakut. Bahkan aku tak berani tidur di kamar seorang diri. Jika terpaksa, akan kubiarkan lampu kamar menyala hingga pagi. Setahuku, gelap selalu menyimpan wajah-wajah yang sulit kukenali. Ada yang mirip monster hingga zombie. Menakutkan, bukan?
"Matikan senter ponselmu, Kanaya. Dan tidurlah," Anggi berusaha merampas ponsel Kanaya, namun gagal. Kanaya memegangi ponselnya begitu erat.
"Pak, kita harus segera mendapatkan obat itu. Kevin mulai lemas," Ibu Prita memeluk anak semata wayangnya. Kevin menderita asma, sementara obatnya tertinggal di pondok saat beristirahat siang.
"Jika kalian tak turut denganku, pasti Kevin akan baik-baik saja. Dan kau juga bisa memenuhi undangan Bapak Nurul untuk menghadiri Kompasianival," keluh pak Lukman.