Meskipun aku baru pertama kali bekerja sebagai pemandu wisata, namun kejadian ini sama sekali tak kuharapkan. Wajah-wajah riang selepas hiking ke hutan konservasi, kini penuh resah. Rasa bahagia yang semula memadati perut bus, kini menguap melalui celah-celah jendela.
Aku memutuskan menemui Pak Her yang sudah berjam-jam lamanya tak berkabar soal kondisi bus tua miliknya.
"Bagaimana, Pak?"
"O, radiatornya bocor."
"Sebaiknya Bapak masuk ke dalam bus. Saya sudah mencari bantuan dan akan tiba setengah jam lagi."
"Polisi?"
"Bukan. Penjaga hutan, dia yang paling cepat tiba di sini. Sedangkan teman saya akan menyusul dua jam kemudian."
Sambil terbatuk-batuk, Pak Her mengikutiku masuk ke dalam bus. Udara malam mulai tak bersahabat. Kabut perlahan menyergap, membuat Kanaya tak mampu lagi menahan tangis.
"Sebentar lagi hantu perempuan itu akan datang!" Kanaya berteriak sambil menutup mukanya.
"Di sini tidak ada hantu, Kanaya. Semua itu hanya ada di dalam pikiranmu," aku mencoba menenangkan.
"Kanaya benar. Di sini ada hantu. Hantu seorang perempuan yang menuntut balas," Pak Her yang selama ini kukenal pendiam, mulai buka suara.