Aku bergegas. Tak lagi kurasa dingin malam yang semula menusuk tulang. Aku menjadi terlalu berharap pada perjumpaan yang tak pasti kudapat.
Kuberdiri tepat di ujung jalan, berhadapan dengan kios bunga dengan gembok tergantung pada gagang pintunya. Seseorang memarkir sepedanya, meletakkan setangkai mawar putih di atas meja.
"Maaf, Anda pemilik kios ini?"
Wanita tua itu menatapku, ada sedikit rasa takut pada kedua matanya.
"Saya hanya ingin tahu siapa pembeli bunga ini."
Ia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan bersama rasa takut yang sempat berkecamuk dalam dadanya. Ia merogoh sakunya, mengambil kunci lalu membuka gembok. "Masuklah. Ada banyak hal yang perlu kau ketahui tentang perempuan itu."
Wangi bunga menguar dari balik pintu. Aku jadi ingat ibu. Dulu ibu suka menanam bunga di halaman, jika aku lupa menyiramnya, ibu akan mengomel seharian. Siramlah, bila bunga itu mati, maka mati pulalah ayahmu, gertak ibu. Sampai saat itu tiba, karena terlalu asyik bermain, aku lupa menyiramnya. Satu bunga mati, lalu telepon berdering. Ibu pingsan seketika, mendengar nyawa ayah tak tertolong selepas mobilnya tergelincir ke jurang.
"Konon katanya, wangi bunga bisa membawa seseorang kembali ke masa lalu. Semakin dalam kau menghirupnya, semakin dalam pula kenangan itu akan menarikmu."
Wanita itu benar. Hatiku menjadi tak karuan.
"Mawar putih itu yang memelihara kenangannya. Eleonora tak pernah bisa melupakan kekasihnya."
"Kekasihnya?" tanyaku.