“Hai.”
Aku mendekatinya. Menepis ketakutan-ketakutan terburuk yang mungkin segera menimpaku. Tentang pistolnya yang kembali menyentuh dahiku, menembusnya dengan peluru, mengambil tasku, untuk kemudian bersenang-senang dengan uangku.
Ini keputusan yang gila. Tapi setidaknya, rasa bersalah itu sirna dari dalam hati. Seandainya aku mati muda, Tuhan pasti mengerti. Barangkali aku bisa langsung masuk sorga. Bertemu dengan para malaikat juga orang-orang baik, walau aku tak layak disebut baik.
“Hai.”
Laki-laki itu terdiam. Ia menatapku. Seolah ingin menyekikku.
“Apa yang membawamu kembali?”
“Peduli.”
“Hahaha…peduli? Padaku?”
“Barangkali aku bisa membantu mengurai masalahmu. Bagaimana jika kita berteman?”
Aku mengulurkan kelingking.
“Bohong!”