Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepertinya, Aku Akan Mati!

21 Juni 2017   17:09 Diperbarui: 21 Juni 2017   23:34 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: womenyoushouldknow.net

“Apa yang kau pikirkan sebelum membunuh?”

“Kematian.”

“Dan kau masih lakukan itu?”

“Tak ada pilihan, selain kematian itu sendiri.”

Laki-laki itu menurunkan pistolnya. Dahiku basah oleh keringat. Dan seharusnya aku sudah mati.

“Kau tak menekan pelatuknya?”

“Aku sudah berusaha.”

“Dan kau gagal?”

“Jika kau tak lari, aku akan benar-benar melobangi dahimu!”

Aku meraih tas, memungut beberapa barang yang kuanggap penting yang berserakan. Aku berlari tanpa alas kaki. Membawa pergi kehidupan yang hendak melayang sia-sia. Di ujung jalan, lariku terhenti. Iba bergelayut di dada. Aku kembali menyusuri lorong itu.

Di sana, laki-laki itu masih terduduk dengan pistolnya. Ia menangis. Meratapi sesuatu yang mungkin lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.

“Hai.”

Aku mendekatinya. Menepis ketakutan-ketakutan terburuk yang mungkin segera menimpaku. Tentang pistolnya yang kembali menyentuh dahiku, menembusnya dengan peluru, mengambil tasku, untuk kemudian bersenang-senang dengan uangku.

Ini keputusan yang gila. Tapi setidaknya, rasa bersalah itu sirna dari dalam hati. Seandainya aku mati muda, Tuhan pasti mengerti. Barangkali aku bisa langsung masuk sorga. Bertemu dengan para malaikat juga orang-orang baik, walau aku tak layak disebut baik.

“Hai.”

Laki-laki itu terdiam. Ia menatapku. Seolah ingin menyekikku.

“Apa yang membawamu kembali?”

“Peduli.”

“Hahaha…peduli? Padaku?”

“Barangkali aku bisa membantu mengurai masalahmu. Bagaimana jika kita berteman?”

Aku mengulurkan kelingking.

“Bohong!”

Ia menepis tangan, mendorong tubuhku. Kali ini bibir pistolnya menyentuh pelipisku. Sepertinya, aku akan mati!

“Apa pedulimu terhadap pencuri sepertiku! Apa pedulimu terhadap perkaraku! Apa yang bisa kau lakukan untukku!”

Laki-laki itu menjatuhkan pistolnya, memelukku. Tangisnya pecah. Aku membiarkannya mengurai beban pada bahuku. Peluknya semakin erat, menyembunyikan teriak yang hendak ia muntahkan di lorong itu.

Tadi aku meninggalkan kantor pukul sembilan malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum libur panjang. Tak ada yang menjemput. Aku anak rantau, masih lajang pula.

Kosku berada di balik kantor. Untuk menghemat waktu dan jarak, kuputuskan memotong jalan melalui lorong itu. Lorong rumah sakit yang seharusnya tak sesepi ini. Dana pembangunan rumah sakit dikorupsi petingginya. Selebihnya proyek ini mangkrak.

Sebenarnya, aku penakut. Rasa mual mulai menjalar ketika bertemu gelap. Di lorong itu hampir tak ada cahaya. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jika bulan tak sebundar ini. Bisa jadi aku lari sambil kecing di celana, atau berteriak-teriak seperti orang kesurupan, bisa juga kepalaku membentur sesuatu dan aku pingsan.

Tak kudapati suara gagak seperti di cerita-cerita horor yang kubaca. Tak kutemui taring vampir, atau pocong serta hantu-hantu Indonesia lainnya. Kucing pun kurasa enggan menempati bangunan ini. Hanya nyamuk yang berhasil membuatku garuk-garuk sedari tadi.

Aku mempercepat langkah, tak sabar berjumpa jalan raya.

Tiba-tiba tasku terasa berat. Ada yang berusaha menarik. Tentu saja, kupertahankan apa yang memang milikku.

“Berikan tasmu atau kau akan mati!”

Mungkin seperti ini rasanya memiliki kekasih. Di balik kekuatannya, ada kelemahan yang ia hamburkan di atas tubuhku. Laki-laki itu bisa rapuh. Laki-laki itu bisa menangis. Laki-laki itu bisa kalah oleh perkara yang membelit hidupnya.

Seperti pertemuan oleh ketidaksengajaan malam ini, antara kebutuhan dan ketakutan. Laki-laki itu mungkin sedang membutuhkan sesuatu di mana tak seorang pun peduli dengan kebutuhannya itu. Jadilah ia seorang bengal. Liar. Yang kini telah membentuknya sebagai pencuri.

Aku membelai kepalanya berulang kali. Menciptakan rasa nyaman yang mungkin tak akan pernah ia dapatkan dari perempuan mana pun. Yang ada, perempuan-perempuan itu akan berlomba menjebloskan dirinya ke dalam penjara. Entah mengapa ibaku jatuh padanya.

“Tatapmu seperti Ibu.”

Aku terhenyak.

“Dulu sekali, sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar, Ibu selalu menatap seperti kau menatapku. Ibu begitu mengasihiku. Ada kehangatan yang sampai kini tak pernah kulupakan. Aku merawat kenangan itu dengan sangat hati-hati. Dan kini aku menjumpainya kembali pada matamu.”

“Itukah yang membuatmu gagal membunuhku?”

“Kau hanya beruntung.”

“Sepertinya kau yang lebih beruntung. Jika aku tak melewati lorong ini, jika kita tidak bertemu, jika orang lain yang kau jumpai, pastilah bertambah dosamu.”

“Apa kau ini Tuhan, sehingga bisa mengataiku pendosa?”

“Setidaknya, seperti itu yang tertulis di kitab suci, membunuh adalah dosa.”

“Apa kau percaya jika aku tak pernah membunuh?”

“Lantas dari mana kau dapatkan nyali itu?”

“Kematian.”

“Tidak ada pilihan lain?”

“Apa aku masih bisa memilih, sementara esok aku akan mati?”

“Kau sakit?”

“Orang-orang itulah yang membuatku sakit. Ibuku mati meninggalkan banyak hutang. Demi menjaga pendidikanku, ibu meminjam uang. Penyakit melumpuhkan kekuatannya untuk bekerja. Pinjaman Ibu sangat kecil namun bunganya menjadi tak terbendung lagi oleh kemampuanku. Esok jatuh tempo. Lunas atau mati.”

“Apa aku bisa membantu?”

“Tentu saja. Pejamkan matamu.”

Dor!

“Kau memang baik, tapi kau tolol karena bermain-main dengan maut. Aku hanya tak ingin mendengar kisah-kisah tentang seorang pencuri lemah di kemudian hari. Atau mungkin memang sudah takdirmu mati di tanganku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun