Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Mencintai Kamu, Meracuni Aku

22 November 2016   21:05 Diperbarui: 23 November 2016   03:01 2092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: walldevil.com

Aku harus pergi. Waktuku tak banyak. Kamu mungkin tak akan mengerti, juga tak tahu kemana akan mencari jawab. Seperti yang kamu tahu, aku yatim piatu. Aku dibuang dari panti sewaktu masih bayi. Baru kutahu bahwa aku pembawa petaka. Sebagian bangunan panti terbakar sejak aku dibawa masuk oleh salah satu pengasuh di sana. Belum genap seminggu, kepala panti mati bunuh diri. Kemudian mereka memutuskan untuk mengembalikanku ke jalanan. Selama dua puluh tahun, aku tumbuh dengan tidak menjadi siapa-siapa. Mungkin saat kamu menemukan surat ini, aku sudah mati.

Embus angin sore jelajahi pori-pori. Semakin lama semakin dingin. Kemudian senja berpamit pulang. Bintang-bintang menghimpit rembulan. Ini malam, dan aku tahu itu. Gelap makin gulita. Seolah aku seorang buta. Yang tak mampu melihat jiwa, hanya menatap tombak merajam asa milik dermaga.

Rindu ini harus lekas kubawa pulang.”

Aku mulai melipat udara, memasukkannya pada kantong plastik.

“Banyak orang terpisah di tempat ini. Rindu itu berceceran. Serupa virus yang mungkin akan mewabah dan melumpuhkan kota.”

Kusimpan kantong plastik berisi rindu di balik mantel abu-abu. Rindu itu bergerak-gerak, seperti menendangi perutku. Aku mendekapnya semakin erat, ingin membuatnya tenang sesaat. Anak-anak kecil menertawakanku dari balik pagar. Salah satu di antara mereka kehilangan gigi bagian depannya. Ingin sekali kutumpahkan amarah pada mereka, namun itu tak pernah terjadi.

“Anak-anak yang menyebalkan.”

Aku juga pernah menjadi anak-anak seperti mereka, hanya saja aku tak tertawa seriang itu. Entah apa yang mereka tertawakan dariku. Apa aku ini menyerupai badut?

Lekaslah pulang! Seolah angin serukan itu pada telingaku.

Kutapaki anak tangga. Membelah jalan tikus. Di sanalah wanita itu mewariskan rumah untukku. Ketika masih kanak-kanak, rumah ini cukup luas, bahkan tubuhku mampu kusembunyikan di balik ranjang. Kini, rumah ini lebih mirip ruangan kamar mandi dekat sungai –sempit.

Aku duduk menghadap meja. Mengeluarkan kantong plastik. Sekumpulan rindu itu kuletakkan di atas sana. Warnanya masih sejernih saat kubawa pulang dari dermaga. Aku membuka dan membiarkannya memenuhi rumahku. Aku menghirupnya dalam-dalam, menyimpannya lebih lama pada rongga dada.

“Rupanya rindu itu memiliki aroma seperti bubble gum dan sedikit hangat.”

Pernah kurasakan aroma yang sama. Malam itu di sebuah lapangan, wanita yang mewariskan rumahnya padaku, menyuruhku membeli sebuah benda seperti kelereng namun beraneka warna. “Yang kamu pegang itu bubble gum, makanlah!” Aku terus mengunyahnya sepanjang bianglala masih berputar untukku. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya kembali.

***
Jika kuingat diriku yang dulu, aku memang berniat mati. Ingin sekali kuminta pada Tuhan untuk mencoret namaku dari daftar kelahiran dua puluh tahun lalu. Aku tak ingin lahir. Aku tak ingin bertumbuh dengan tidak menjadi siapa-siapa. Kamu boleh membakar surat ini, atau sekaligus mengabukan aku.

Dinding putih mengepungku. Laki-laki itu mulai meninjuku dengan berbagai macam pertanyaan. Matanya terus mengawasiku seolah-olah aku ini seorang teroris.

“Tuan, aku butuh obat!”

“Anda tidak sakit.”

“Punggungku gatal-gatal sejak seminggu lalu. Aku juga susah tidur.”

“Apa yang Anda lakukan seminggu lalu?”

“Hanya keluar rumah untuk mengunjungi dermaga. Itu saja.”

“Tidak ada yang lain?”

“Aku bertemu seseorang di sana.”

“Perempuan?”

“Ya, semacam itu.”

“Cantik?”

“Rambutnya tergerai dan berayun menyerupai ombak. Bibirnya semerah senja.”

“Anda jatuh cinta?”

“Aku tidak butuh pertanyaan, Tuan. Aku butuh obatnya sekarang!”

Dan aku telah menampar seorang dokter. Kedua suster menarik lenganku. Aku mendengar salah satu di antara mereka berteriak, “Dia mengamuk, Dokter! Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Selebihnya aku lupa.

Saat membuka mata, aku telah berada di dermaga. Bagaimana bisa? Hanya dokter dan para susternya yang tahu.

***
Sebelum semua itu terjadi, aku ingin bertemu denganmu sekali lagi...

Aku melipatnya mirip pesawat. Sewaktu kanak-kanak, seseorang memberitahukan rahasianya padaku, “Jika mimpimu ingin terkabul, terbangkanlah!” Ia juga yang pertama kali mengajariku membuat pesawat kertas. Aku sempat meniru apa yang ia tuliskan pada badan pesawat kertas itu. Cinta.

Terbang. Aku meniupnya. Berlari. Aku mengejarnya. Kemudian pesawatku jatuh di atas kerumuman orang.

“Jasadnya telah ditemukan!” 

Terdengar teriak mereka dan aku melihatmu sangat basah di ujung sana.

Tiba-tiba aku mencium rindu yang tak biasa. Tak ada aroma bubble gum yang hangat. Lebih seperti bau bangkai yang mungkin sudah penuh ulat. Busuk sekali. Hidungku mendadak tidak berfungsi dengan baik. Aku menjadi susah bernapas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun