“Rupanya rindu itu memiliki aroma seperti bubble gum dan sedikit hangat.”
Pernah kurasakan aroma yang sama. Malam itu di sebuah lapangan, wanita yang mewariskan rumahnya padaku, menyuruhku membeli sebuah benda seperti kelereng namun beraneka warna. “Yang kamu pegang itu bubble gum, makanlah!” Aku terus mengunyahnya sepanjang bianglala masih berputar untukku. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya kembali.
***
Jika kuingat diriku yang dulu, aku memang berniat mati. Ingin sekali kuminta pada Tuhan untuk mencoret namaku dari daftar kelahiran dua puluh tahun lalu. Aku tak ingin lahir. Aku tak ingin bertumbuh dengan tidak menjadi siapa-siapa. Kamu boleh membakar surat ini, atau sekaligus mengabukan aku.
Dinding putih mengepungku. Laki-laki itu mulai meninjuku dengan berbagai macam pertanyaan. Matanya terus mengawasiku seolah-olah aku ini seorang teroris.
“Tuan, aku butuh obat!”
“Anda tidak sakit.”
“Punggungku gatal-gatal sejak seminggu lalu. Aku juga susah tidur.”
“Apa yang Anda lakukan seminggu lalu?”
“Hanya keluar rumah untuk mengunjungi dermaga. Itu saja.”
“Tidak ada yang lain?”
“Aku bertemu seseorang di sana.”