Membiarkannya terbaring di sampingku adalah sebuah kesalahan. Tubuhnya mengalami kekalahan yang bertubi-tubi. Pernah aku melihat, suatu malam ia menangis di dekat jendela. Kamar kami hanya berbatas tirai, saat angin menyingkapnya, aku dapati dirinya gagal menahan air mata.
Laki-laki itu tenggelam di antara buku-buku. Seolah ia hanya akan bernapas setelah menyelesaikan lembar terakhir. Aku menjadi khawatir, mampukah ia mempertahankan denyut nadinya saat kata-kata itu menghajarnya.
“Kau begitu mencintai buku-buku?”
“Seperti kau mencintai laki-laki itu. Dia penyuka buku bukan? Kau selalu bercerita bahwa setiap minggunya ada puluhan buku yang berhasil dilahapnya.”
Dia mengakhiri pembicaraan kami dengan menarik selimut abu-abu miliknya. Tak seorang pun diizinkan merasakan hangatnya meringkuk di balik selimut itu. Katanya, selimut itu akan mendatangkan duka mendalam bagi siapa saja yang mencurinya.
Ibunya membungkus tubuhnya dengan selimut abu-abu. Waktu itu ia masih berumur dua bulan. Di tengah gerimis, pintu terketuk. Digeletakkannya begitu saja dirinya yang hampir membiru kedinginan. Laki-laki itu masih berduka tentang dirinya sendiri –di masa lalu.
Tiba-tiba, aku ingat kemarin. Ia sama sekali tak menghentikan gerakan jarinya. Tombol-tombol itu hampir kehilangan hurufnya. Aku menjadi takut jika layar monitor itu menghisapnya dan membuatnya lenyap dari hadapanku.
“Apa yang kau lakukan!”
“Aku hanya merangkai sebuah cerita. Kau cinta laki-laki yang pintar mencipta cerpen bukan?”
“Laki-laki itu tak pernah ada dalam hidupku!”
“Tapi dia terus hidup dalam imajinasimu! Aku hanya tak ingin kau menjadi gila!”
“Kau yang gila!”
Dia menyembulkan dua jari dari balik selimutnya –jari telunjuk juga jari tengah– pertanda tak ingin meneruskan pertengkarannya denganku. Seperti malam ini, ia lebih memilih kalah dari balik selimut tanpa mengucapkan selamat tidur padaku.
Pagi-pagi benar, saat remahan matahari belum hujani pori-pori tubuhku, aku mendengar suara piano. Di rumah ini, hanya laki-laki itu yang mengenal piano hitam peninggalan ayah.
“Kau sengaja membangunkanku?”
“Bukankah seharusnya kau sudah bangun?”
“Mengapa kau mainkan piano ayahku?”
“Sebab aku tahu, kau menyukainya.”
Laki-laki itu tak akan pernah mengerti. Dia sibuk dengan keinginan-keinginannya yang tak berguna. Sebanyak apapun buku yang ia baca, tetaplah bodoh. Setebal apapun cerita yang ia rangkai, tak buatku tertarik. Selembut apapun jarinya kawini tuts-tuts piano, aku masih merasa tuli. Ia memuakkan.
Ia kembali mengenakan syal birunya. Pagi ini masih sangat dingin.
Diputarnya kedua roda di samping kakinya. Mendekatiku.
“Kau membenciku, apa karena aku cacat?”
Aku mendiamkannya.
“Atau karena aku tak bisa memberimu anak?”
Kata-kata itu hampir membuatku muntah. Perutku penuh dengan penyesalan-penyesalannya.
“Sampai kapan kau berhenti menghukum dirimu sendiri!”
“Sampai kau menceraikanku.”
“Kau pikir kakimu yang lumpuh itu bisa digantikan oleh laki-laki yang pandai rangkai cerita? Kau pikir tangismu itu lebih merdu dibanding permainan pianonya? Kau pikir buku-buku itu bisa menghamiliku? Tidak, mas! Tidak! Kau telah melakukan kesalahan yang besar!”
“Apa yang kau mau dariku? Kau ingin aku mati?”
“Dengan memaksakan diri untuk menjadi orang lain, kau telah membunuhku secara perlahan. Dan kau tak pernah mengerti itu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H