“Kau yang gila!”
Dia menyembulkan dua jari dari balik selimutnya –jari telunjuk juga jari tengah– pertanda tak ingin meneruskan pertengkarannya denganku. Seperti malam ini, ia lebih memilih kalah dari balik selimut tanpa mengucapkan selamat tidur padaku.
Pagi-pagi benar, saat remahan matahari belum hujani pori-pori tubuhku, aku mendengar suara piano. Di rumah ini, hanya laki-laki itu yang mengenal piano hitam peninggalan ayah.
“Kau sengaja membangunkanku?”
“Bukankah seharusnya kau sudah bangun?”
“Mengapa kau mainkan piano ayahku?”
“Sebab aku tahu, kau menyukainya.”
Laki-laki itu tak akan pernah mengerti. Dia sibuk dengan keinginan-keinginannya yang tak berguna. Sebanyak apapun buku yang ia baca, tetaplah bodoh. Setebal apapun cerita yang ia rangkai, tak buatku tertarik. Selembut apapun jarinya kawini tuts-tuts piano, aku masih merasa tuli. Ia memuakkan.
Ia kembali mengenakan syal birunya. Pagi ini masih sangat dingin.
Diputarnya kedua roda di samping kakinya. Mendekatiku.
“Kau membenciku, apa karena aku cacat?”