Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Bau Sampah

27 Juli 2016   15:06 Diperbarui: 27 Juli 2016   15:16 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: cabinetbank.wordpress.com

Langit yang gelap itu mulai gerimis. Banyak orang segera mengosongkan jalanan. Berteduh. Yang memakai sepatu hak tinggi dengan rok mini, berbedak tebal lengkap dengan gincu merah tuanya, mengambil tisu dari tas kulitnya. Diserapnya titik-titik air yang membasahi rambutnya. Setelah dirasa cukup kering, ia membuang tisu-tisu itu begitu saja. Manusia jaman sekarang hampir tak mengenali tong sampah yang berjejer di depan mereka.

Sebuah botol plastik kosong menggelinding ke arahku. Seseorang baru saja membuangnya. Aku mengambilnya, beraroma jeruk. Aroma itu mengingatkanku pada Bapak. Tahun lalu, pada lebaran hari pertama, Bapak membawa sekantong jeruk. Aku dan adikku saling berebut dan mulai sibuk membaginya untuk kami berdua.

Aku berjalan mendekati kerumuman orang yang menurutku berpakaian sangat bagus. Mereka sibuk dengan perangkat elektronik pada tangannya masing-masing. Ada yang mengetuk-ketuk, mengusap-usap, bahkan betah memelototinya selama berjam-jam.

“Hei, mengapa kau mendekati kami? Pergilah! Kau bau sekali!”

Salah satu dari mereka memencet hidungnya, mengibas-ibaskan tangannya, mengusirku.

“Maaf, aku hanya ingin mengambil botol-botol itu.”

Mereka membukakan jalan untukku. Lebar sekali. Seakan-akan mereka tak ingin bersentuhan denganku. Mungkin di mata mereka, aku mirip tahi ayam. Kotor dan bau.

Ya, aku memang kotor dan bau. Setiap hari aku hanya berteman dengan sampah-sampah. Tak heran jika kawan-kawanku mengataiku: bau sampah.

Aku memungut botol-botol plastik kosong itu. Kaki-kaki mereka berlomba menghindarku. Beberapa di antara mereka memilih untuk berpindah tempat. Aku hanya bisa tersenyum, sebab tak ada lagi yang lebih melegakan dari pada itu.

Krek. Krek. Krek.

Kuputar penutupnya, kukeluarkan sisa-sisa air, kuremas botol plastik, kumasukkan dalam karung. Begitu seterusnya hingga senja menjemput pulang.

***

Di ruangan berukuran 4 x 4 meter, Ibuku tertidur. Tak ada lagi Bapak, juga adik, yang bisa dipeluknya. Tahun lalu, setelah Bapak membawakan sekantong jeruk untuk aku dan adikku, tubuh Bapak ditemukan tergeletak tak bernyawa di pinggir jalan. Tubuh Bapak penuh luka, lebam di sana-sini. Sepertinya Bapak mati dipukuli orang. Apa salah Bapak?

Sepulang sekolah, aku biasa membantu Bapak berjualan koran di lampu merah. Walau Bapak tidak memiliki banyak uang, Bapak selalu mengajarkan syukur kepada kami. Itulah mengapa kami tidak pernah merasa miskin.

Sepeninggal Bapak, Ibu memutuskan untuk memulung. Ibu mengatakan kepadaku bahwa bekerja sebagai pemulung itu sangat mulia, meskipun tidak pernah dihargai, setidaknya sudah sedikit membantu pemerintah mengurangi sampah.

Sejak Ibu membawa pulang kardus-kardus dan botol-botol plastik bekas, adikku mulai sakit-sakitan. Beberapa kali adikku mengeluhkan perutnya. Aku pernah bertanya tentang rasa sakitnya, katanya, seperti ada puluhan jarum yang menusuk-nusuk lambungnya.

Adikku menyusul Bapak tepat enam bulan setelah Bapak pergi. Ibuku terpukul. Ia merasa bahwa telah gagal menjadi seorang istri dan ibu. Berulangkali kukatakan pada Ibu bahwa semua yang terjadi adalah suratan takdir, bukan salah Ibu. Sia-sia. Ibu masih tetap menghabiskan waktunya di dalam ruangan 4 x 4 meter dengan tidur tanpa makan.

Aku tak bisa melihat tubuh Ibuku semakin kurus. Kuputuskan untuk berhenti sekolah, merawatnya dan mencari uang.

***

Aku melihat Karin berdiri di balik pagar biru. Poninya tersisir rapi ke depan, dengan bando merah mudah, ia terlihat sangat cantik. Karin adalah teman sekolahku. Penciumannya berbeda dengan teman-temanku yang lain. Karin mengaku tak pernah mencium bau sampah dari tubuhku. Sangat wajar jika aku jatuh hati padanya.

Karin menangkap sosokku. Matanya menyelidik benda yang kusangkutkan pada bahuku. Ia melambaikan tangan, memintaku mendekati pagar biru tempatnya berdiri. Rasa maluku terkalahkan rindu. Aku pun melangkah maju.

“Hei, sudah beberapa hari ini kau tak masuk sekolah.”

Apa yang bisa kukatakan pada gadis cantik bermata bulat ini?

“Sepertinya, aku tak bisa belajar lagi denganmu di tempat ini, Karin.”

“Kau pindah sekolah?”

“Tidak.”

Aku menurunkan karung yang kusangkutkan pada bahuku. Karin terus memperhatikannya. Aku selalu suka caranya memandang, terlebih dengan mukanya yang serius seperti itu. Kubuka dan perilhatkan isi karungku padanya.

“Apa yang kau lihat, Karin?”

“Botol-botol plastik.”

“Lalu apa pendapatmu?”

“Ibu. Kau melakukannya demi Ibu. Pernah kau katakan padaku bahwa Ibumu adalah segalanya dan kau sudah melakukannya dengan sangat baik. Tapi kau harus tetap bersekolah. Pendidikan akan membuat hidupmu lebih baik.”

“Bagaimana aku bisa membayar uang sekolahku?”

“Kau bisa mengajukan beasiswa. Aku akan membantumu.”

Karin benar. Aku harus tetap sekolah. Setiba di rumah, aku akan segera menyampaikannya pada Ibu. Siapa tahu nasib baik berpihak padaku dan aku akan menjadi orang yang sukses seperti ayah Karin.

***

Aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Jika biasanya aku mendapatkan sekarung penuh botol plastik, hari ini hanya setengahnya saja. Ada hal yang ingin aku sampaikan pada Ibu, mengenai sekolahku dan juga gadis bermata bulat itu.

Setiba di bibir gang menuju rumahku, aku melihat banyak orang memakai seragam hijau. Mereka melempar kayu-kayu, mengabaikan tangis seorang Ibu bersama balita dalam gendongannya. Beberapa rekannya mengarahkan mobil-mobil besar berbelalai mirip cangkul untuk merobohkan rumah-rumah.

Kemudian aku ingat Ibu. Segera kucari rumahku.

Rata.

O, sial.

Kemana mereka membawa Ibu pergi?

Dari kejauhan, kudengar seseorang berteriak memanggil namaku. Ia berlari mendekatiku. Orang itu tak mengatakan apapun, ia hanya ingin agar aku segera mengikutinya.

Hatiku menjadi tak karuan. Apa yang terjadi?

Kulihat Ibu terbaring lemah di atas tumpukan kardus. Tubuhnya begitu berdebu, terlihat beberapa luka pada bagian tubuhnya.

“Ibumu tak mau meninggalkan rumah. Ia terus bertahan di sana. Seorang petugas memaksanya pergi, tapi kalah oleh ocehan ibumu, sehingga salah satu rekannya menyeret Ibumu keluar.”

“Apa mereka memukul Ibuku?”

“Tidak. Ketika rumahmu mulai dirobohkan, Ibumu berlari masuk ke dalam rumah. Ia tertimpa kayu-kayu, untung Ibumu selamat.”

Aku menyadari bahwa orang-orang kecil tidak cukup kuat untuk bersuara. Sekeras apapun mereka berteriak, sekuat-kuatnya ibuku mempertahankan rumahnya, tetap saja terkalahkan.

Entah kemana kami akan tinggal nanti. Yang aku tahu, Ibu masih enggan meninggalkan kenangannya tentang Bapak juga adikku di tempat ini. Tak ada lagi ruangan berukuran 4 x 4 meter. Tak ada lagi kardus dan botol-botol plastik bekas yang memenuhi rumah kami. Yang tersisa hanyalah setengah karung pada bahuku.

Aku berjalan mendekati para petugas itu, membuka karung, dan melempari mereka dengan botol-botol plastik.

“Dasar kalian lebih bau dari sampah!”

-oOo-

*Karya ini diikutsertakan dalam event Bulan Kemanusiaan RTC

pic: logo RTC
pic: logo RTC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun