Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Sumur Ibu

11 April 2016   16:44 Diperbarui: 11 April 2016   20:40 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic: gregburdine.com"][/caption]Aku menemukan potongan jari kaki untuk kedua kalinya. Yang pertama kondisinya masih segar, seperti baru terputus dengan berlumuran darah. Sedangkan pada malam berikutnya bentuknya menyerupai kelingking, membusuk dan mengeluarkan bau yang membuatku hampir muntah.

Kedua potongan jari kaki itu kudapatkan secara tidak sengaja. Ketika semua terlelap, tetiba aku ingin buang air kecil. Di rumah ini tidak ada kamar mandi, sehingga harus pergi ke sungai untuk melakukannya. Kata ibu, tak baik seorang anak kecil keluar malam-malam sendirian, maka kuputuskan untuk berjongkok di dekat sumur ibu.

Aku masih ingat bagaimana ibu melarangku untuk mendekati sumur itu. Ibu rela memukulku jika aku bermain terlalu dekat dengan sumur yang dikatanya keramat bahkan boneka kesayangku telah ibu buang ke dalamnya. Dapat kudengar teriakan minta tolong yang mungkin berasal dari mulut boneka kesayanganku.

“Kau ini laki-laki, tak pantas bermain boneka seperti itu!”

Setelah membuang boneka dan menarik salah satu telingaku, ibu melanjutkan menjemur baju. Hari masih pagi, namun wajah ibu membuatku ingin segera tidur. Mengerikan. Apakah semua ibu akan memiliki wajah seperti itu ketika sedang marah kepada anak-anaknya?

“Mengapa anak laki-laki tak boleh bermain boneka? Apakah ibu takut aku menjadi banci?”

“Tahu apa kau tentang banci? Anak kecil sepertimu lebih baik bermain kelereng.”

“Aku pernah melihat foto yang terselip di sela meja rias di kamar ibu. Seseorang dengan betak tebal dengan gincu merah tua namun berkumis.”

PLAK!

“Kau lancang sekali!”

Ibu memukul pipiku. Rasanya lebih panas dari sengatan matahari. Dan biasanya aku akan mengadu kepada bonekaku itu. Boneka yang kupanggil ibu. Ibu kedua di dalam rumah ini.

Mungkin benar kata ibu bahwa anak lelaki sepertiku sebaiknya bermain kelereng. Tapi kelerengku telah lama habis. Setiap kali ibu selesai menghajarku, aku menelannya sebutir, hingga kantong yang dulu penuh kelereng menjadi tak bersisa.

Malamku kini sendirian. Tanpa teman. Tanpa ibu kedua. Dan aku tidak bisa tidur. Ibuku yang satu itu hanya bisa mengoceh bersama nenek seharian. Nenek yang baru saja dikenalnya dua hari lalu di persimpangan jalan lalu dibawanya pulang untuk menjadi salah satu penghuni rumah ini.

Aku mendengar seseorang bernyanyi. Sangat merdu. Aku ingin mendengar lebih dekat dan kutemukan sumber suara itu pada kedalaman. Sumur ibu. Sumur keramat yang terlarang untuk kudekati. Aku menurunkan ember yang terikat pada sebuah tali. Bukan maksudku untuk durhaka pada ibu, aku hanya ingin menimba suara dan meminumkannya pada telingaku yang haus.

O, tidak!

Kututup mulutku yang ternganga dengan kedua tanganku. Apa yang baru saja kudapatkan? Potongan tangan yang menari-nari. Aku mencoba berlari, namun jemari itu dengan gesit menangkapku dan menyeretku masuk ke dalam sumur. Aku berteriak hingga kerongkongan mengering. Tak ada yang mendengar, hanya sekumpulan kelelawar mengerikan yang berebut keluar.

“Aku di mana? Keluarkan aku!”

Gelap. Tak ada siapa pun, kecuali potongan tangan yang menari-nari berlumuran darah. Tangan itu mendekatiku, meraih wajahku dan membuka mulutku. Perlahan jemarinya menarik lidahku lalu memasuki kerongkonganku sebelum akhirnya memutuskan usus-ususku.

“Aaaarrrgggggh!”

BYUUUUR!

Kurasakan wajahku basah dengan mulut penuh dengan air. Aku membuka mata dan kulihat ibu berdiri di depanku sambil membawa ember.

“Ibu, ada potongan tangan menari-nari yang hendak membunuhku. Tangan itu masuk ke dalam mulutku!”

“Dasar tukang mimpi!”

“Aku tidak bohong, Bu. Tangan itu menarikku masuk ke dalam sumur.”

“Jangan sebut sumur itu lagi! Dan apa yang kau ceritakan itu tidak pernah ada.”

“Kapan ibu bisa percaya kepadaku?”

“Sampai ibu melihatnya sendiri.”

Sulit bagi ibu untuk mempercayai apa yang aku katakan. Dan sulit pula bagiku untuk mematuhi apa yang ibu perintahkan. Jika dengan melihat dapat membuat ibu percaya, maka aku akan melakukannya.

Aku berlari mendekati sumur. Kuambil beberapa batu dan melempari sumur itu.

“Hei, makhluk penghuni sumur! Keluarlah kalian!”

Tidak ada hal buruk yang terjadi sesuai dengan apa yang kuharapkan --seperti keluar kepulan asap, sumur yang terbelah, terdapat muncratan darah, atau potongan tangan juga jari kaki. Yang kurasakan adalah kakiku yang mulai terasa panas tanpa menghiraukan ibu yang berdiri di belakangku dengan memegang gagang sapu.

“Kenapa kau tidak pernah mau mendengar apa yang ibu katakan! Jangan dekati sumur itu, apalagi melemparinya dengan batu!”

“Aku hanya ingin ibu melihat apa yang aku lihat.”

“Itu hanya ada di dalam mimpimu!”

Sepertinya ibu benar. Hal-hal yang menakutkan tentang sumur itu hanya ada di dalam mimpiku. Aku telah membuktikannya pagi ini. Tak ada apa pun yang terjadi dengan sumur itu setelah kulempari dengan batu. Aku harus menghentikan rasa ingin tahuku atau kakiku ini akan patah tanpa kusadari.

***

Kubiarkan tubuhku terbaring hingga petang datang. Tak ada yang berbeda dengan malam sebelumnya kecuali kakiku yang memar kebiruan. Sempat terpikirkan untuk lari dari rumah, namun jika tertangkap oleh ibu maka aku akan mati. Lebih baik berdiam diri seperti malam ini.

Malam di mana dinginnya menusuk tulang, juga embusan angin yang ditunggangi aroma wewangian ibu. Mirip aroma melati yang tumbuh dengan liatnya di dekat sumur itu. Berulang kali lilin di kamarku hampir padam. Ada bayangan hitam yang bergerak-gerak, seperti sedang menendang. Aku mencari sumber bayangan. Sangat tidak mungkin jika ada seseorang yang dengan sengaja bermain bola di dalam kamarku.

Aku menemukannya!

Sepotong kaki. Pucat dengan darah yang mengering di bagian atasnya. Menendang-nendang sesuatu yang adalah kepala. Mata pada kepala yang ditendang itu sebentar melotot, sebentar terpejam. Ada luka sobek selebar tiga ruas jari di bagian mulut sebelah kiri. Sesekali meringis, sesekali tertawa lalu memuntahkan isi perut.

“Mari bermain bola denganku…hahaha.”

Kepala itu berkata-kata. Mataku berkaca-kaca. Kencing di celana.

“Pergi dari kamarku! Pergi!”

Aku melemparkan bantal ke arah kepala yang menggelinding itu. Tetiba kepala itu melompat dan menyerang lututku. Mulai mengigiti tepat pada bagian yang memar. Secepatnya kutinggalkan kamar itu dan dengan terpincang-pincang kucari ibu.

“Ibu! Ibu! Ada kepala!”

Dengan tenang ibu memandangku, “Jangan teriak malam-malam.”

“Ibu! Kepala itu menggelinding lalu mengigiti lututku. Lihatlah ini!”

“Mengakulah kalau kau baru saja terjatuh.”

“Ikutlah denganku, Bu dan lihatlah kepala itu.”

Aku melihat kepala itu melayang lalu keluar dari jendela kamarku. Potongan kepala dengan bedak tebal pada bagian wajahnya yang bergincu merah tua namun berkumis, tertawa-tawa di atas sumur.

Aku mengejarnya.

“Ibu, kepala itu masuk ke dalam sumur. Aku akan menimbanya dan ibu akan percaya bahwa aku tidak pernah berbohong!”

“Hentikan omong kosongmu itu, Nak.”

Ibu memegang tanganku kemudian berusaha menarikku untuk masuk ke dalam rumah. Aku segera melepaskan pegangan ibu dan mendorong tubuh ibu hingga terjatuh ke dalam sumur.

“Selamat melihat kebenaran itu, Bu.”

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun