Mungkin benar kata ibu bahwa anak lelaki sepertiku sebaiknya bermain kelereng. Tapi kelerengku telah lama habis. Setiap kali ibu selesai menghajarku, aku menelannya sebutir, hingga kantong yang dulu penuh kelereng menjadi tak bersisa.
Malamku kini sendirian. Tanpa teman. Tanpa ibu kedua. Dan aku tidak bisa tidur. Ibuku yang satu itu hanya bisa mengoceh bersama nenek seharian. Nenek yang baru saja dikenalnya dua hari lalu di persimpangan jalan lalu dibawanya pulang untuk menjadi salah satu penghuni rumah ini.
Aku mendengar seseorang bernyanyi. Sangat merdu. Aku ingin mendengar lebih dekat dan kutemukan sumber suara itu pada kedalaman. Sumur ibu. Sumur keramat yang terlarang untuk kudekati. Aku menurunkan ember yang terikat pada sebuah tali. Bukan maksudku untuk durhaka pada ibu, aku hanya ingin menimba suara dan meminumkannya pada telingaku yang haus.
O, tidak!
Kututup mulutku yang ternganga dengan kedua tanganku. Apa yang baru saja kudapatkan? Potongan tangan yang menari-nari. Aku mencoba berlari, namun jemari itu dengan gesit menangkapku dan menyeretku masuk ke dalam sumur. Aku berteriak hingga kerongkongan mengering. Tak ada yang mendengar, hanya sekumpulan kelelawar mengerikan yang berebut keluar.
“Aku di mana? Keluarkan aku!”
Gelap. Tak ada siapa pun, kecuali potongan tangan yang menari-nari berlumuran darah. Tangan itu mendekatiku, meraih wajahku dan membuka mulutku. Perlahan jemarinya menarik lidahku lalu memasuki kerongkonganku sebelum akhirnya memutuskan usus-ususku.
“Aaaarrrgggggh!”
BYUUUUR!
Kurasakan wajahku basah dengan mulut penuh dengan air. Aku membuka mata dan kulihat ibu berdiri di depanku sambil membawa ember.
“Ibu, ada potongan tangan menari-nari yang hendak membunuhku. Tangan itu masuk ke dalam mulutku!”