[caption caption="pic: cdn.sindonews.net"][/caption]
Kuamati setangkai bunga kering milikmu, Gie. Aku ingat. Di balkon itu, bulan benar-benar mati. Pada senja jingga kita, kau mengajakku berdansa. Diam-diam kau sematkan bunga daisy di atas telinga kiriku. Kau memeluk pinggangku dengan begitu eratnya. Aku terjebak untuk terus menatap bulan itu pada kedua bola matamu. Dan kau matikan bulan itu, lalu menciumku.
Gie, aku menjadi gemar nikmati aroma tubuhmu pada setiap jengkalnya. Ketika ujung hidungku menyentuh bidang dadamu, aku mencium aroma blueberry yang hampir matang. Kau begitu menggairahkan. Membuat darahku mendidih. Jantungku berdetak berkali-kali lipat lebih cepat.
Mahkota daisy yang mengering, gugur dua. Pertanda aku harus mengaku dosa. Aku sekali bercumbu dengan Ran di balkon pada senja jingga kita, lalu mengulangnya kembali di dapur. Kulakukan, sebab aku dihantui rindu bibir manjamu. Aku memeluk tubuh Ran yang kekar, namun tak kudapati aroma blueberry. Jika kau masih ingat sewaktu memainkan gelembung sabun masa kecil dulu, maka seperti itulah aroma tubuh Ran.
Satu hal yang perlu kau tahu, Gie. Aku sakit. Apa kau paham Multiple Personality Disorder[1]? Penyakit itu membuatku mirip orang gila. Aku bisa berubah menjadi siapa saja, dirimu, Rhein, Nina, Ran, juga Mr. J. Gie, apa kau percaya bahwa aku bisa sembuh?
Gie, dinding-dinding dingin bercat putih inilah yang mengurungku selama satu bulan. Mereka kerap menyakitiku. Tangan dan kakiku diikat pada ranjang dengan menggunakan kain. Rasanya seperti hendak disembelih. Aku benci ketika obat-obat itu dipaksakan masuk ke dalam mulutku untuk kutelan, juga suntikan-sintikan yang membuat tubuhku kesakitan.
Gie, tadi Ran datang. Ran yang membawa hatimu menjauh dariku. Ran yang menghapus jejak bibirku dari bibirmu. Juga Ran yang mengalihkan rindu pelukmu untukku. Ran yang telah aku benci sampai mati!
Ran menjengukku untuk sampaikan kabar kepergianmu. Ran katakan bahwa kau masih mencintaiku. Ia yakinkanku bahwa hubungan kalian adalah rekayasa James. Apa semua itu benar, Gie? Apa peluk dan cumbumu yang asyik pada Ran itu juga rekayasa?
Berulangkali Ran tegaskan bahwa namaku adalah Rheinara Yuki, bukan Anna Kalashnikov. Aku bingung, Gie. Terlebih lagi ketika Ran katakan bahwa aku harus mencurigai Dr. Jalal. Lantas siapa yang harus aku percaya? Ran, Dr. Jalal ataukah diriku sendiri?
Kau dan Ran membuat nyeri pada kepalaku muncul kembali. Ingin rasanya kulepas kepalaku, membuka tempurungnya, lalu memutuskan syaraf-syaraf yang menyimpan nama kalian. Lebih baik aku tak ingat, dari pada melihat kalian berlomba hianat.
***
Aku meletakkan daisy yang mengering di atas meja dekat ranjang. Kuambil pisau untuk menguliti Jonagold[2] pemberian Ran. Kupotong menjadi empat bagian, kubuang isinya, dan kugigit. Rasanya manis asam, berair banyak. Biasanya, aku memakannya bersama lelehan coklat.
Saat gigitan terakhir, aku mendengar seseorang berteriak. Kuyakini sumber suara itu berasal dari ujung koridor. Kunikmati setiap jeritan yang terdengar, sungguh menenangkan jiwa. Biarlah orang-orang gila itu yang mewakili setiap jeritan Rhein, Ran, Gie, Nina juga Mr. J yang berlomba untuk segera keluar dari kepala
“Mayat! Ada mayat!”
Teriak-teriak atas mayat, mulai terdengar. Masih bisakah kuyakini bahwa orang-orang gila yang teriakkan mayat? Haruskah kutahan rasa untuk mencari tahu tentang kebenaran sumber suara itu? Ini rumah sakit! Tak heran jika akan dapati mayat-mayat! Sebuah bentuk kekalahan tubuh untuk bisa memenangi penyakitnya.
“Kepalanya berdarah! Berlobang pada dahi, tembus ke belakang! Ini pembunuhan.”
Pembunuhan?
Bergegas kuturuni ranjang, berlari, dan meraih gagang pintu. Aku menggerakkannya berulang kali. Pintu tak kunjung terbuka. Sial! Pintu ini sengaja terkunci dari luar agar aku benar-benar tak tinggalkan ruangan ini.
Ruangan ini tak berjendela. Hanya terdapat lubang berjeruji di atas pintu. Aku mengambil kursi, menaikinya, lalu melihat keributan yang terjadi di luar. Darah berceceran di lantai, sebagian menghiasi dinding. Dua orang suster terlihat memegangi kepala dan tiga lainnya memegangi tubuh juga kaki untuk kemudian menaikkannya ke atas ranjang.
Dr. Jalal memeriksa kondisi mayat sebelum memberi intruksi pada kelima suster. Dengan segera, salah satu suster bertubuh tambun mendorong ranjang menuju kamar mayat yang berada tidak jauh dari kamarku. Kutahan mata untuk tak berkedip agar dapat merekam jelas tubuh terbunuh yang melintas.
Ran!
Tidak mungkin!
Ran mati! Ran mati! Tertembak di dahi! Tertembak di rumah sakit! Ran mati setelah bertemu denganku! Ran mati karenaku! Aku bukan pembunuh! Bukan! Ini kebetulan! Kebetulan aku benci!
Hahaha… harusnya aku senang bukan? Ran mati! Gie milikku sepenuhnya!
O, tidak! Ini ancaman! Bisa jadi aku akan mati! Nyawaku dalam bahaya! Aku harus keluar dengan segera!
Kriiiiiiiing
Telepon genggam pemberian Ran berdering. Ia berikan padaku sesaat sebelum tinggalkan kamar ini. Ia berjanji bahwa akan memanduku untuk meloloskan diri dari rumah sakit ini. Tapi kini ia telah mati. Kudekati ranjang perlahan. Kuraih telepon genggam. Pada layar tertera nama Ran. Ran? Bukankah dia sudah mati? Apakah ia pura-pura mati?
“Hallo!”
“Kau ketakutan?”
“Hallo! Kau masih hidup Ran? Bawa aku pergi dari sini!”
“Kau memang akan segera pergi, Anna. Ke neraka!”
Keparat! Benar dugaanku bahwa Ran masih hidup. Dia tak benar-benar menolongku. Ia akan habisi nyawaku untuk bisa memiliki Gie seutuhnya.
***
Aku ketakutan. Aku cemas. Aku gemetar. Ancaman Ran yang terdengar melalui telepon genggam membuatku habis pikir. Tak ada jalan untukku bisa loloskan diri, kecuali seseorang dari rumah sakit ini yang bersedia membantuku.
Samar-samar terdengar seseorang membuka kunci pintu kamarku. Aku telah bersiap dengan pisau di tangan. Berjas putih dengan stethoscope tergantung pada lehernya. Dr. Jalal memasuki ruanganku dengan membawa jarum suntik. Ia tak pernah melupakan jadwal untuk menyuntikkan cairah itu pada tubuhku.
“Hai, Anna. Kenapa kau begitu ketakutan saat menatapku?”
Bukan Ran! Aku selamat!
“Aku harus segera menyuntikmu agar kau bisa beristirahat.”
“Dr. Jalal, keluarkan aku dari sini!”
“Mengapa, Anna? Bukankah kau ingin sembuh?”
“Aku akan dibunuh!”
“Oleh siapa? Ran, Nina, Nugie atau kembarannya?”
“Aku serius dokter!”
Dr. Jalal mendekati diriku yang terduduk. Ia telah bersiap dengan jarum untuk ditancapkan pada tubuhku. Aku melirik sebuah botol mini yang terletak di atas meja. Kubaca label pada botol itu. Amphetamine[3]. Sebelum ia berhasil memasukkan cairan itu pada tubuhku, kugoreskan pisau pada pergelangan tangannya. Jarum suntik terjatuh.
“Apa yang kau lakukan padaku Anna?"
“Aku yang seharusnya bertanya padamu dokter! Apa yang selama ini kau masukkan dalam tubuhku?”
“Hanya obat Anna, agar kau lebih tenang.”
“Kau ingin membuatku gila dokter?”
“Hahaha… rupanya kau masih cukup sehat Anna. Baiklah, kau memang akan kubuat gila. Dan kau akan berhalusinasi sepanjang hidupmu, Anna.”
Aku berlari menuju pintu yang terbuka. Tak akan kulewatkan kesempatan untuk bisa membebaskan diri dari orang-orang gila yang ingin buatku gila. Aku kalah gerak. Dr. Jalal telah lebih dulu sampai pada pintu itu, menutupnya, lalu menelan kuncinya. Aku geram. Kutendang tepat pada kemaluannya. Dr. Jalal terjatuh lalu meluncurlah sebuah pistol dari sakunya.
“Kau membuatku sakit, Anna. Dan kau juga telah menjatuhkan pistolku.”
“Siapa kau sebenarnya dr. Jalal?”
“Panggil aku, James. Kuberitahu kau, Anna. Hanya terdapat dua peluru dalam pistol ini. Satu untuk Ran dan sisanya untukmu.”
-oOo-
[1] Gangguan identitas disosiatif (sebelumnya dikenal sebagai gangguan kepribadian majemuk) adalah gangguan jiwa yang berasal dari akibat sampingan dari trauma parah pada masa kanak-kanak – wikipedia
[2] Salah satu jenis apel dari Belgia - yomusa.com
[3] Amphetamine adalah obat yang merangsang SSP (sistem saraf pusat) – merupakan obat psikostimulan – ketika digunakan secara berlebihan dapat adiktif secara psikologis dan fisik. - teruskan.com
-oOo-
Catatan ini harap diperhatikan untuk seluruh peserta Event Fiksi Bersambung gelombang 1 di mana pada tanggal 27 November 2015, seluruh peserta wajib memposting karyanya masing-masing sebagai “ending” dari rangkaian fikber gel 1, dimulai pukul 00.01-23.59 wib.
Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H